Jumat, 25 Desember 2009

Seniman dan Banalisasi Kebudayaan

Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Kebranian menjadi cakrawala
Dan perjuangan
Adalah pelaksanaan kata-kata
……………………
Inilah sajakku,pamflet masa darurat
Apakah artinya kesenian,bila terpisah dari derita lingkungan
Apakah artinya perpikir,bila terpisah dari masalah kehidupan
……………………

( WS Rendra)


Banalisasi atau pendangkalan makna sedang melanda Kebudayaan kita.
Makna Kebudayaan sebagai upaya manusia untuk meningkatkan nilai dan mutu peradabannya serta upaya mengatasi tantangan alam dan jaman, dinegeri ini terus menerus direduksi dan dibanalisasi. Kebudayaan makin dipinggirkan, disepelekan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebudayaan disederhana-
kan maknanya menjadi kesenian. Kesenian dimudahkan menjadi pertunjukan. Dan pertunjukan diidentikkan dengan hiburan.Pemeliharaan dan pengembangan
kebudayaan yang dimanatkan oleh ps.32 UUD, ternyata sejak 10 tahun y.l. diserahkan kepada otoritas yang bernama pariwisata. Menurut mereka, kesenian adalah bagian dari industri pariwisata dan bukan anak kandung kebudayaan. Oleh karenanya pengembangan dan pemeliharaan kesenian dengan mudah dicampuradukkan dengan bidang-bidang lain yang samasekali tidak berkait dan bertalian.Urusan kebudayaan yang mereka sebut dengan istilah seni budaya, diurus satu atap dan satu meja dengan pariwisata dan olahraga, bahkan perhubungan,komunikasi dan informasi.

Wacana mengenai Kelembagaan Kebudayaan dalam pemerintahan sebenarnya sudah muncul sejak awal kemerdekaan.Dalam Musyawarah Kebudayaan di Sukabumi 31 Desember 1945, sejumlah budayawan mengusulkan dibentuknya Kementerian Kebudayaan.Keinginan ini dilanjutkan lagi dalam Kongres Kebudayaan 1948 di Magelang. Karena usul tak kunjung dipenuhi,maka usul tersebut terus dikumandangkan dalam Kongres Kebudayaan tahun 1951,1954,1957,1991,2003 dan terakhir 2008. Namun yang terjadi justru penggabungan Kebudayaan dengan Pariwisata (1999, jaman Abdurahman Wahid). Para budayawan sudah menolak penggabungan tsb. Karena dinilai mengerdilkan arti dan peran kebudayaan.Penolakan para budayawan didasari alasan karena kebudayaan akan memiliki pengertian komersial. Padahal kebudayaan harus menjadi napas dari sistem pemerintahan yang demokratis untuk membangun karakter manusia Indonesia.

Bahkan setelah 64 tahun merdeka ternyata kita tidak pernah memiliki Strategi Kebudayaan. Strategi Kebudayaan tidak sekadar pengelolaan cara berfikir suatu bangsa, namun sekaligus cara bertindak dan bereaksi, yang menjadikan wacana politik mampu menjadi daya produktifitas sebuah bangsa. Kebudayaan selayaknya menjadi daya hidup dalam berbagai aspek berbangsa dan bernegara.Sebutlah misalnya aspek pengelolaan budaya kreatif yang meliputi pelbagai cabang kesenian,budaya sains dan teknologi,budaya baca,pendidikan budi pekerti (perilaku baik), dsb. yang diyakini mampu mendorong terciptanya nilai2 positif,nilai2 luhur di masyarakat ,sesuai dengan cita2 bangsa. Kita menjadi semakin sulit menemukan wajah budaya kita. Wajah kebudayaan yang mencerminkan kebinekaan,kemajemukan toleransi dan keluhuran budi pekerti. Sehari-hari kita kita disuguhi pertunjukan teater negeri dan tanah air yang primitif tidak bermutu dan memuakkan.Hiruk pikuk perpolitikan ditengah-tengah kemiskinan yang semakin menghimpit, perebutan kekuasaan, kekerasan dan penindasan. Sementara pelaksanaan hukum dan keadilan menjadi barang mahal. Hukum menjadi sangat kuat bagi orang lemah, dan sangat kemah menghadapi orang kuat. Korupsi ,watak culas dan ketidak jujuran,malas berfikir dan hanya mencari jalan pintas, kehilangan empati dan rasa kesetiakawanan, bukanlah wajah kita yang sesungguhnya.Fenomena semacam ini akibat dari tidak adanya landasan Kebudayaan dalam pengelolaan negara. Kebudayaan seharusnya menjadi landasan hidup dalam menangani pelbagai masalah bangsa. Sementara itu kesenian sebagai salah satu produk utama kebudayaan, diposisikan hanya sebagai alat atau sumber eksploitasi kepentingan ideologi, politik, atau industri.

Dewasa ini kebijakan pemerintah dibidang kebudayaan justru mendorong para seniman masuk kedalam sistem ekonomi yang disebut industri kreatif. Ada 14 bidang industri kreatif :1.Periklanan 2.Arsitektur 3.Pasar Seni & Barang Antik 4.Kerajinan 5.Disain 6.Disain Fesyen 7.Video,Film dan Fotografi 8.Permainan Interaktif 9.Musik 10.Seni Pertunjukan 11.Penerbitan dan Percetakan 12.Layanan Komputer dan Piranti Lunak 13.Televisi dan Radio 14.Riset dan Pengembangan.

Hal itu lebih mempertegas bahwa kebudayaan kita sudah masuk kedalam jebakan ekonomi dan kapitalisme. Inilah sebuah realita yang tak terhindarkan dimana industri telah menjadi bapak angkat kesenian.Dimana sebuah karya (seni) dimaknai sebagai produk (seni) dan nilai (seni) menjadi harga (seni). Para penikmat dan apresian seni ,semata2 dianggap sebagai pasar (market) seni. Yang terjadi kemudian adalah transasksi2 bisnis, yang semakin menjauhkan seni dari rumah kebudayaan. Kita tidak lagi bicara tentang kreatifitas, tetapi trend pasar. Novel harus jadi film. Teater harus jadi sinetron. Sajak harus jadi lirik lagu pop atau jingle iklan. Seni Sastra sebagai cabang kesenian yang sangat dekat dengan khalayak dan sudah berpuluh bahkan beratus tahun dapat dinikmati melalui buku-buku dan media masa pun sudah lama bermetamorfosa.Budaya baca berubah menjadi budaya tonton dan budaya dengar. Puisi tidak lagi menjadi bahan renungan dan dibaca dikamar sepi. Buku Kumpulan Puisi dan Antoloji Puisi menjadi semakin berdebu di rak perpustakaan maupun toko-toko buku. Puisi harus dikemas ulang setelah bertahun2 tampil sebagai seni deklamasi, seni baca puisi (poetry reading), musikalisasi puisi. Dan kini, dengan cara apa lagi kita harus mengemas puisi agar tidak ditinggalkan para pecintanya.

Sementara itu Kesenian akan terus hidup dan bergerak sesuai dengan kodrat dan dinamikanya. Dia tidak akan mati,hanya rehat sejenak untuk bermetamorfosa.Sastrawan hanya mengganti pena dan kertas dengan komputer sebagaimana para pujangga terdahulu mengganti daun lontar dengan kertas dan mesin cetak. Teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan industri media yang global dan kapitalis. Seniman dan pekerja seni bersaing dalam pasar bebas. Akibatnya terjadi adalah kesenjangan sosial ekonomis diantara para seniman. Semakin banyak seniman yang terjebak dalam dilema dengan pilihan2 yang semakin sempit. Berhenti berkarya atau meneruskan ”kesenimanannya” dengan segala resiko dan konsekwensinya. Agar bisa bertahan, banyak seniman yang menggeluti profesi lain sambil terus berkarya. Menjadi penyiar radio,wartawan,penulis naskah iklan, bahkan menjadi PNS, perangkat desa, karyawan swasta dsb. Namun produktifitas kreatif mereka sudah tentu terhambat. Sebagian lagi masih terus bertahan sebagai pekerja seni yang puritan dan gagah berani. Yang lebih menyedihkan, komunitas seniman dianggap sebagai komunitas marjinal, yang hanya membuat gaduh dan mengganggu stabilitas. Pertanyaannya : dimanakah posisi para seniman, dan masih adakah tempat yang nyaman bagi mereka ?

Dalam kondisi semacam itu seolah2 pemerintah telah berbuat sesuatu untuk kesenian dan para senimannya. Begitu juga dalam pelaksanaan otonomi daerah, dimana ps.22 (m) UU Otonomi Daerah No.32/2002 , dari 15 point kewajiban Pemerintah Daerah disebutkan a.l. bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban melestarikan nilai sosial budaya. Kewajiban yang sangat sederhana hanya 4 kata, namun implementasinya menjadi absurd, karena kata-kata dalam UU tersebut sulit dicerna dan dipahami oleh para pemegang dan pengambil keputusan di daerah. Dengan sekelumit alokasi APBD , maka dibentuklah Dewan Kesenian di daerah yang merupakan adopsi dari Dewan Kesenian DKI. Dengan langkah sederhana tersebut diharapkan kewajiban mulia untuk melestarikan nilai sosial budaya sudah terpenuhi. Padahal DK-DKI yang dibentuk jaman Ali Sadikin 4o tahun yl. sudah ketinggalan jaman, dan tidak lagi mampu mengakomodasi hasrat kesenian yang dinamis dan terus bergerak.Dewan Kesenian di daerah telah memunculkan birokrasi baru yang seringkali justru menimbulkan pelbagai friksi dikalangan seniman. Apalagi pertanggung jawaban pengurusnya hanya dari segi penggunaan anggaran, tanpa menyentuh seberapa besar pencapaian2 kultural dan prestasi artistik selama periode kepengurusannya. Oleh karena itu melalui wacana ini,diharapkan adanya kebijakan baru,visi baru, dalam menangani pengembangan kesenian di daerah. Bukan melalui kebijakan pembinaan, karena sejatinya kesenian adalah perilaku kreatif yang tumbuh dan berkembang secara alami di tengah-tengah masyarakat. Kreatifitas seni tidak bisa dibina, tetapi dirangsang melalui penyelenggaraan lomba,festival,diskusi, dan event2 kesenian yang rutin dan teragenda. Pemberian Anugerah Seni bagi seniman berprestasi adalah salah satu cara merangsang kreatifitas disamping memberikan penghargaan yang layak atas pengabdiannya.

Oleh karenanya pada hari ini, saat kita bisa berhimpun dalam komunitas kesenian yang solid dan penuh gairah ini, marilah kita terus pertanyakan : dimanakah posisi kita yang sebenarnya....adakah kehadiran kita masih diperlukan oleh bangsa dan tanah air ini ?


Kita menyandang tugas
Karena tugas adalah tugas
Bukannya demi sorga atau neraka
Tapi demi kehormatan seorang manusia
.....................
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
Bekerja membalik tanah
Memasuki rahasia langit dan samodra
Serta mencipta dan mengukir dunia
.......................
(WS.Rendra)



Slawi, 27 Desember 2009
Disampaikan dalam Gelar Budaya
Tutup Taun 2009/Mapag Taun 2010
Yang diselenggarakan oleh
Pesisir Foundation
di Lebaksiu Park
Slawi





.

Kamis, 10 Desember 2009

Simbolisasi dan Perlawanan

Kita tidak saja gemar dengan simbolisasi, tetapi juga piawai untuk mengkreasi aneka simbol perlawanan. Simbol perlawanan kerap digunakan untuk mengekspresikan hasrat melawan terhadap sebuah ”rezim yang salah”. Cicak vs.buaya dan koin untuk Prita, adalah fenomena simbolisasi yang cerdas, unik,tidak terduga dan menggetarkan. Sebuah simbol harus mampu mengkomunisasikan sebuah gagasan secara utuh dan cepat direspon publik. Fitnah , kriminalisasi, kebobrokan penegak hukum, ketidakadilan bagi orang-orang lemah, ternyata bisa dilawan dengan jitu lewat simbolisasi.
. Simbolisasi,metafora,sindiran, plesetan dan sejenisnya masih ampuh sebagai sarana kritik dan perlawanan. Melalui jejaring sosial Facebook dan blow up televisi, maka simbolisasi perlawanan akan cepat menyebar secara masif dan magis...(?) Sayangnya untuk gerakan anti korupsi kita belum bisa menciptakan simbolisasi perlawanan yang pas dan jitu....Sebuah tantangan untuk para ”kreator kata-kata” dan penggemar dunia maya.....!!!

Sabtu, 12 September 2009

Memaknai Substansi Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL)

Siaran Radio Sebayu FM (Radio Siaran Pemerintah Daerah Kota Tegal) diminta untuk dihentikan, dikarenakan ijin sudah habis. Permintaan tersebut disampaikan kepada Walikota Tegal oleh salah satu Ketua Fraksi dalam rapat paripurna DPRD Kota Tegal. untuk menghindari dampak pelanggaran hukum dan sebagai bentuk pembelajaran kepada masyarakat untuk taat hukum (SM, 16/7). Berita tersebut sudah tentu mengundang perhatian khalayak, khususnya pemerhati dan praktisi penyiaran. Masalah ini berawal ketika Komisi C DPRD Kota Tegal mempertanyakan status Radio Sebayu FM yang tidak jelas SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang mengampunya. Hal tersebut terungkap saat rapat dengan Bagian Humas dan Protokol untuk membahas pembentukan Dewan Pengawas Radio Sebayu FM (26/5). Semenjak pemberlakuan SOTK Baru, Radio Sebayu FM/RSPD Tegal memang tidak lagi dibawah Bagian Humas tetapi dialihkan kedalam Dishubkominfo Kota Tegal. Pengalihan ini menimbulkan masalah terkait dengan rencana perubahan status Radio Sebayu FM dari RSPD menjadi LPPL (Lembaga Penyiaran Publik Lokal) dan realisasi sejumlah anggaran APBD 2009 untuk perbaikan dan pengembangan radio tersebut.
Status Radio Sebayu FM seharusnya sudah “diperjelas dan dipertegas” dengan lahirnya UU Penyiaran (No.32/2002) dan PP No.11/2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik serta Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jateng tentang Pedoman dan Pendirian dan Perijinan LPPL (No.002/Per/KPID-JTG/X/2005). Dengan UU dan PP tersebut tidak ada pilihan lain kecuali melepaskan status RSPD untuk tidak lagi menjadi bagian dari birokrasi pemerintah daerah. Diharapkan RSPD segera merubah statusnya sebagaimana RRI dan TVRI yang sudah terlebih dahulu otonom menjadi LPP. Namun rupanya banyak pihak belum sepenuhnya sepakat dan sefaham dalam memaknai substansi LPPL sebagai sebuah lembaga yang baru. Keberadaan RSPD selama lebih dari 30 tahun sebagai lembaga penyiaran milik pemerintah daerah,dengan anggaran yang dikucurkan setiap tahun, telah memberikan pelbagai “privilege” secara finansial maupun kepentingan sosial lainnya bagi orang-orang yang terlibat didalamnya. Sehingga perubahan status yang dikehendaki oleh undang-undang disikapi setengah hati. Hal ini lah yang menyebabkan proses perubahan status sebagaimana yang dipaparkan diatas berjalan tersendat.
Mengingat bahwa tenggat waktu 1 tahun yang diberikan oleh ps.55 PP No.11/2005 untuk menyesuakan statusnya sudah molor selama 3 tahun,maka perubahan status RSPD menjadi LPPL harus segera dituntaskan. Pemkot dan DPRD diharapkan melakukan langkah-langkah yang tepat dan terukur untuk mencapai pemahaman bersama yang lebih komprehensif mengenai LPPL. Sebagaimana diketahui LPPL adalah sebuah lembaga penyiaran yang didirikan oleh pemerintah (daerah) dan pengelolaannya bertumpu kepada APBD. Karena statusnya sebagai lembaga publik, maka diperlukan adanya perangkat Dewan Pengawas yang merepresentasikan kepentingan publik.
Sesuai undang-undang, Dewan Pengawas diangkat oleh DPRD melalui uji kelayakan dan kepatutan. Perangkat inilah yang memegang otoritas penuh dalam menyusun kebijakan dan arah program lembaga penyiaran tersebut. Dewan Pengawas wajib menjamin bahwa walaupun LPPL ini dibiayai oleh APBD, bukan berarti harus berfihak hanya kepada pemerintah daerah, tetapi juga harus mementingkan kemaslahatan masyarakat. Memang diperlukan adanya komitmen bersama para stakeholders (pemerintah daerah,legislatif dan dewan pengawas) dalam mematuhi aturan main berdasarkan semua perundangan yang berlaku. Rencana DPRD Kota Tegal untuk segera mengadakan public hearing dengan mengundang tokoh masyarakat, akademisi,mahasiswa dan kalangan pemerhati penyiaran merupakan langkah yang bijaksana. Selama ini baik saat penyusunan perda tentang LPPL maupun rekruitmen pembentukan Dewan Pengawas, masyarakat tidak memperoleh informasi yang transparan dan memadai.
Dalam seminar sehari tentang “Prospek LPPL di Jawa Tengah” di Sragen (13/11/2007) yang dihadiri 35 Kabag Humas/Kantor Infokom dan beberapa anggauta DPRD se Jateng , terungkap bahwa LPPL dan RSPD “serupa tetapi tak sama”. Dalam kontek makro lebih banyak perbedaannya, terutama dari sisi materi dan operasional penyelenggaraannya. LPPL merupakan “makhluk baru” yang hadir ditengah era kompetisi penyiaran. LPPL sebagai lembaga penyiaran dari dan untuk publik (yang didanai pemerintah), tidak lagi menjadi “alat / corong pemerintah” tetapi menjadi “mitra pemerintah” dengan melibatkan elemen masyarakat. LPPL akan menjadi pilar utama demokrasi dan menjamin terciptanya peran masyarakat dalam mengelola informasi,mengembangan seni budaya dan pendidikan moral yang ada di daerah.
Ketua KPID Jateng Drs.Amirudin MA dalam seminar tersebut menyatakan bahwa “UU Penyiaran/2002 mengharuskan berdirinya LPPL dengan merubah status dan badan hukum RSPD. Kalau RSPD tidak diubah (menjadi LPPL) maka potensi pelanggaran UU Penyiaran/2002 menjadi nyata.Karena selama ini RSPD mempunyai dua jenis kelamin, yakni “swasta dan pemerintah”. Disatu sisi ia memperoleh pendanaan dari APBD, namun disisi lain ia mencari keuntungan selayaknya radio swasta. Hal ini mengakibatkan iklim pengembangan usaha media di daerah menjadi tidak sehat.
Untuk mendorong perubahan ini KPID Jateng telah menerbitkan Peraturan Pembentukan LPPL dan melakukan pendampingan kepada seluruh pengelola RSPD. Namun sejauh ini langkah KPID terasa lamban karena tidak menetapkan batas waktu dan terkesan memberikan toleransi. Padahal permohonan perijinan lembaga penyiaran membutuhkan proses dan waktu yang sangat panjang. Tidak hanya penyusunan Perda yang harus memenuhi persyaratan baku, tetapi juga sejumlah kelengkapan persyaratan lain yang relatif tidak mudah. Misalnya latar belakang,visi dan misi,susunan pengelola, uraian tentang program,anggaran dan sarana-prasarana teknis. Sebelum diterbitkan rekomendasi kelayakan oleh KPID, masih harus melalui tahapan EDP (evaluasi dan dengar pendapat) antara KPID dengan masyarakat lokal dan beberapa lembaga serta instansi terkait. Kemudian tahapan yang paling menentukan adalah Forum Rapat Bersama ditingkat Menteri Kominfo dan KPI Pusat, untuk meloloskan atau menolak permohonan ijin penyiaran LPPL yang akan berlaku untuk 5 tahun.***

Selasa, 30 Juni 2009

Etika Siaran dan Kepatuhan P3SPS

Sejumlah kepala sekolah mengeluhkan adanya program siaran dari sebuah radio swasta yang berada di Tegal. Siaran yang bertajuk “konsultasi seksuologi” tersebut ditengarai menjurus kepada pornografi dan disampaikan dengan vulgar . Wakil Walikota Tegal diminta untuk menegur stasiun radio yang ditengarai melakukan pelanggaran etika siaran tersebut(NP,13/6).

Sebenarnya setiap kegiatan penyiaran di Indonesia baik berupa siaran radio maupun televisi telah diatur dalam UU No.32/Th.2002 tentang Penyiaran dan beberapa Peraturan Pemerintah yang terkait. Dalam UU tersebut telah diakomodasi hak dan peran serta masyarakat untuk menyatakan keberatan terhadap isi siaran yang merugikan (Ps.52 ayat 3). Masyarakat berhak untuk mengajukan gugatan dan keberatan atas pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran. Lembaga penyiaran dapat dituntut berupa sanksi administratif dan sanksi pidana.Disebutkan adanya sanksi administratif dari yang berbentuk teguran,penghentian acara,denda administratif sampai pencabutan ijin penyelenggaraan siaran. Juga sanksi berupa denda sampai 5 milyar dan pidana penjara selama 5 tahun. Pelanggaran tidak saja menyangkut isi siaran, tetapi juga perijinan,penggunaan frekwensi dan peralatan teknik bahkan yang menyangkut kepemilikan. Untuk itu pemerintah telah membentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai satu-satunya lembaga yang mengatur tentang sistem penyiaran nasional

Keberadaan lembaga KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang dibentuk oleh pemerintah baik di pusat maupun propinsi (KPID), dimaksudkan untuk mengatur lembaga-lembaga penyiaran yang ada baik radio maupun televisi. Bahkan KPI telah menerbitkan peraturan tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebagai Kode Etik Siaran yang harus dipatuhi semua penyelenggara penyiaran, kiranya masih perlu disosialikan.

KPI berkewajiban menampung,meneliti,menindaklanjuti pengaduan,sanggahan,serta kritik dan apresiasi serta keberatan masyarakat terhadap isi siaran sebagaimana yang dikeluhkan oleh kalangan pendidikan di Tegal. Sayangnya masyarakat bahkan pemerintah (daerah) belum banyak yang memahami kemana gugatan dan keberatan harus dilayangkan. Dalam hal ini masyarakat seyogyanya menempuh aturan sesuai UU, yakni melayangkan keberatan melalui KPID Jawa Tengah ,Jl.Trilomba Juang No.6 Semarang,atau melalui SMS 088142468008 atau e-mail : kpid-jateng@indo.net.id. Sudah tentu disertai bukti2 yang lengkap berupa rekaman yang berisi siaran yang di keluhkan,termasuk hari,tanggal dan waktu penyiaran. Perlu diketahui bahwa ada kewajiban setiap radio memiliki arsip siaran berupa rekaman setiap hari,sehingga apabila ada pengaduan dapat segera diselesaikan dengan fair.

Terkait dengan siaran talk-show (perbincangan) mengenai masalah seks dan seksuologi, dalam (P3SPS) sudah dicantumkan beberapa hal yang harus dipenuhi oleh penyelenggara siaran, a.l. pembicaraan (talk show) mengenai seks harus disiarkan pk.22.00 – 03.00 , disajikan dengan santun dan ilmiah dengan didampingi narasumber ahli (dalam hal ini dokter), dan dilarang menyajikan pembicaraan antara penyiar dan penelpon tentang pengalaman seks secara eksplisit dan rinci. Tanpa memerhatikan hal-hal tersebut,maka stasiun radio/tv dianggap telah melanggar UU.

Banyak hal mengenai program siaran telah diatur secara rinci baik dalam UU Penyiaran,PP tentang Lembaga Penyiaran maupun P3SPS. Tidak saja mengenai siaran perbincangan tentang seks,tetapi juga mengenai siaran iklan,kuis,polling,jejak pendapat ramalan, kampanye politik,hak jawab dsb.Mengingat begitu banyaknya penyelenggara siaran (radio/tv) baik secara nasional maupun lokal, dan beragamnya program siaran, maka masyarakat memang patut untuk dapat mengkritisinya agar tidak dirugikan. Misalnya acara kuis yang tidak jujur dengan tanpa memberikan identitas jelas siapa pemenangnya.

Banyak pengaduan masyarakat yang telah ditindaklanjuti oleh KPI seperti larangan tayangan TV yang menampilkan kekerasan,pornografi,klenik,mistik,sadisme, sampai larangan menampilkan sosok banci dan tayangan yang tidak mendidik lainnya. Kasus terakhir adalah larangan acara Empat Mata di stasiun TV7. sejak 4 Nopember 2008. Larangan ini dikeluarkan setelah KPI banyak menerima pengaduan dari masyarakat. KPI menganggap TV swasta tersebut melanggar 3 pasal dalam P3SPS tentang kekerasan , sadisme, dan penyiksaan terhadap binatang. Setelah program tersebut berubah menjadi Bukan Empat Mata ternyata masih saja melakukan pelanggaran dan KPI Pusat memberikan teguran berkaitan dengan penampilan Kangen Band yang keceplosan bicara porno.

(Dimuat di Nirmala Pos , Selasa 16 Juni 2009)

Senin, 29 Juni 2009

Puisiku

Ritus Tenung


Ilalang melayang dalam lelap mimpi

berkelindan dalam gua gelap

Lalu lenyap senyap saat kelepak sayap

Kelelawar menjelma hantu penghisap

seringai taring menusuk

tengkuk, maka

menyingkirlah dari ritus tenung

Ada lenguh dalam keluh

Ada keluh yang melenguh

dalam sebuah ajang pembantaian

Ajal hanya akan sia-sia

melambaikan jemari yang patah

keluh yang luruh dalam airmata

beku lalu mencair , maka

menyingkirlah dari percik darah

Mantra tenung, mantra tawar

Saling mematuk runcing paruh-paruhya

jarum berkarat dan rambut ijuk

menyangkut dilambung

nyawapun kejang meregang

(Wahai,perempuan pendendam

Kauambil segenggam tanah “penumpas”

Tanam atau taburkan empat penjuru,berkatalah

“tumpas,tumpas,tumpas”)

(2009)


Dengan Selembar Karcis


Dengan selembar karcis kulewati pintu portir

Masuklah kedalam,katanya

kaulihat pertunjukan mimpimu

Akupun merenung dan bercermin berkali-kali

dari muka air sumur

yang memantulkan bayang kesia-siaan

Ketika usia lapuk

digerogoti kencingmanis asamurat bahkan stroke

Tidak mungkin lagi menghindar dan sembunyi

menutup mata dengan sepuluh jari

Dengan selembar karcis kulewati pintu portir

Katakan selamat tinggal, katanya

Akupun mengintip dari jeruji mimpi

Lihatlah duka dan kemiskinan telah kauwariskan

Kauhitung sendiri berapa banyak jejak

berserak – mengerak

menjadi jamur

ditimbunan sampah umur

Radangpun mengoyak

Saat sang waktu terus memburu

(Berapa lembar lagi karcis

yang masih terselip disaku celana

aku tidak berani menghitungnya)


(2009)