Sabtu, 30 Juli 2011

Merawat Bahasa dan Budaya Tegal

I.Pendahuluan.

Wacana bahasa Tegal selalu diwarnai dengan perdebatan panjang tentang “bahasa atau dialek,kasar dan halus,tinggi dan rendah,pinggiran dan adiluhung”. Oleh karena itu sebaiknya kita sepakat menggunakan terminologi Unesco yang telah mencanangkan Hari Bahasa Ibu Internasional setiap tanggal 21 Pebruari,yaitu bahasa Tegal sebagai bahasa ibu.Sehingga kita tidak terjebak dalam sekat-sekat politik kebahasaan yang melahirkan istilah bahasa Jawa baku dan bahasa daerah dengan menafikan karakter lokal.

II. Bahasa Tegal.

Bahasa Tegal adalah alat tutur dan sarana komunikasi yang berakar dari entitas masyarakat Kabupaten/Kota Tegal serta sebagian masyarakat Kab.Brebes dan Pemalang. Bahasa ini hidup dan berkembang selama berabad-abad sebagai turunan dari bahasa Jawa Kuno,sebagaimana bahasa-bahasa Jawa yang lain, yang berada di wilayah Jogyakarta, Surakar-ta,Semarang,Kedu Rembang, Surabaya, Malang, Banyumas, Cirebon dan Banten (Poerwadarminta 1953/Uhlenbeck
1964).Bahasa-bahasa tersebut memiliki derajat kerumitan dan keunikan masing-masing.Halus dan kasar sebuah bahasa sebenarnya tergantung siapa penuturnya dan dalam kontek atau suasana apa si penutur berkomunikasi.
Bahasa Tegal yang jauh dari pusat pemerintahan dan pusat budaya (baca kraton) yang berkembang pesat sejak awal abad 17, tumbuh tanpa pengaruh feodalisme dan strata sosial, sehingga tidak mengenal kromo inggil. Bahasa Tegal memiliki kaidah-kaidah tersendiri untuk menghormati lawan bicaranya.Bahasa Tegal juga mengenal ungkapan-ungkapan honorifik. Ia menjadi bahasa yang egaliter dan lebih demokratis.Dari segi unggah-ungguh dan tatakrama berbahasa,hal ini sering disalah artikan sebagai rendah dan kasar.


III. Budaya Tegal.

Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa (etnis) berkembang menjadi ratusan sub-etnis yang memiliki budaya dan tradisi masing-masing. Budaya dan tradisi itulah yang kita sebut budaya lokal. Dalam budaya lokal terkandung nilai-nilai, gagasan dan perilaku yang pas, sesuai dan berguna bagi kehidupan masyarakatnya.Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat di tempat lain. Inilah yang kemudian kita kenal sebagai kearifan lokal.
Kearifan lokal dalam budaya Tegal sesungguhnya dapat ditelusuri melalui pelbagai kajian misalnya bahasa, kesenian tradisional, peninggalan sejarah (situs),cerita rakyat, tatacara dan upacara,bahkan makanan dan busana.. Masih banyak kearifan lokal lainnya yang perlu diadakan kajian dan inventarisasi guna menemukan nilai-nilai luhur dan filosofi yang terkandung di dalamnya.
Sayangnya jarang sekali bahkan tidak ada kepustakaan yang bisa dijadikan rujukan mengingat selama ini budaya Tegal tidak memiliki tradisi literasi.Bahkan tradisi lisan-pun sudah sangat sulit kita temukan,mengingat para pelakunya tidak pernah mewariskan kepada generasi penerusnya.

IV.Karakter .

Karakter,watak,tabiat,akhlak dan kepribadian terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang dijadikan landasan dan visi dalam melakukan tindakan.Kita sangat sulit menemukan karakter spesifik yang dapat dijadikan jatidiri masyarakat Tegal.Korelasi bahasa dan budaya Tegal sedikit sekali dapat menyimpulkan karakter yang determinan.Sistem a-feodal dan tidak adanya strata bahasa krama inggil dalam bahasa Tegal tidak serta merta mendeterminasi masyarakat Tegal memiliki pandangan positif yang demokratis dan egaliter.Bisa saja kesetaraan mengundang keberanian untuk asal melawan dan anarkis.Kisah-kisah pembrontakan Brandal Mas Cilik,pembangkangan petani dan pemogokan buruh pabrik gula,peristiwa Tiga Daerah yang melibatkan masyarakat Tegal secara massif,tidak serta merta menganggap masyarakat Tegal memiliki jiwa pembrontak.

Tetapi bahwa masyarakat Tegal kontemporer pasca kolonialisme memiliki semangat hidup (elan vital)yang tinggi,dan pekerja keras yang kaya kreatifitas nampak dari fenomena warteg,martabak lebaksiu, dan industri logam yang pernah mendapat julukan “jepangnya Indonesia” Adapun nilai-nilai positif lain yang tercermin dalam karakter kejujuran,hemat,hormat,disiplin, dsb.kiranya masih harus ditegaskan.

V.Upaya Merawat Bahasa dan Budaya Tegal

Gelombang globalisasi dan modernisasi yang ditopang sistem liberal dan kemajuan teknologi informasi,dalam dua dasawarsa terakhir tanpa kita sadari telah menjebol benteng-benteng budaya kita. Nilai-nilai tradisi, kearifan lokal dan karakter bangsa telah mengalami erosi. Bahasa dan Budaya Tegal tidak saja telah direduksi,tetapi telah dtinggalkan oleh masyarakatnya,terutama generasi muda.Sementara upaya-upaya represif dan preventif tidak pernah kita lakukan,baik secara struktural melalui pendidikan maupun swadaya masyarakat.Rekomendasi Kongres Bahasa Tegal I th.2006 yang mendorong Pemerintah Kota Tegal untuk memuliakan dan membudayakan Bahasa Tegal melalui strategi kurikuler, seolah dianggap angin lalu yang lewat begitu saja. Kitapun seolah lupa amanat konstitusi yang mengharuskan Negara memajukan Kebudayaan Nasional.dengan menghormati dan memelihara bahasa daerah.

VI.Penutup

Punahnya bahasa Tegal,sebagaimana ribuan bahasa ibu lainnya seluruh dunia,adalah sebuah keniscayaan.Kehilangan bahasa ibu adalah juga kehilangan budaya. Tetapi setidaknya hari ini masih ada waktu untuk menundanya.Mari.***

(Penulis adalah Pemerhati Budaya Lokal
dan Penyusun Kamus Bahasa Tegal
Naskah ini disampaikan dalam Sarasehan Budaya Tegal Yang Berkakarter
Yang diselenggarakan Ikatan Beswan Jarum DSO Pekalongan
Tanggal 25 Juli 2011 di Auditorium UPS Tegal)

Sabtu, 11 Juni 2011

Ki Gede Sebayu dalam Narasi yang Sepi

1.Romantisme,Kebanggaan dan Jatidiri.

Sejak ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Tegal 16 tahun yang lalu melalaui Perda Kab.Tegal no.13/95 dan dikukuhkan dengan SK Gubernur Jawa Tengah no.188.3/101/1996 masyarakat kabupaten Tegal sudah 17 kali menyelenggarakan acara dan upacara yang jatuh pada setiap tanggal 18 Mei.Peringatan serupa juga dilakukan oleh semua wilayah kabupaten/kota bahkan propinsi diseluruh In-donesia.Melalui peringatan semacam itu,diharapkan momentum hari jadi dapat dijadikan sarana sebagai upaya-upaya pembentukan jati diri dan kebanggaan daerah pada masyarakatnya.Kesepakatan yang bersifat politis melalui aspek sejarah dan budaya ini,biasanya menampilkan romantisme masa lalu melalui tokoh (lokal) yang berjasa dan dihormati. Tidak jarang dibumbui dengan menampilkan legenda dan cerita-cerita magis tokoh yang digdaya penuh kesaktian dalam epos-epos peperangan maupun perjuangan melawan musuh dan menegakkan keadilan.

Dalam sebuah diskusi tentang hari jadi sebuah kota beberapa tahun yang lalu terungkap adanya anggapan bahwa semakin tua sebuah wilayah semakin menambah wibawa dan kebesaran sang tokoh. Hal tersebut diharapkan akan berdampak semakin besarnya kebanggaan warga terhadap wilayahnya.

Kota Palembang terkesan sangat tua dan memiliki sejarah kebesaran masa silam , karena berdiri sejak tanggal 20 Juni 683 dan tahun ini merayakan ulang tahunnya yang ke 1328.

Kota Jakarta menetapkan hari jadinya pada tanggal 22 Juni 1527 dan tahun ini genap berusia 484 tahun.Tanggal tersebut ditetapkan sebagai pertanda kemenangan Fatahillah setelah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa,dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.Bagaimana kedahsyatan tokoh “super hero” ini bertempur melawan Portugis,hampir 5 abad yang lalu,sampai hari ini masih dapat disaksikan melalui tayangan film/tv. Kebesaran nama Fatahillah diabadikan pada beberapa bangunan dan kawasan di Jakarta.bahkan nama kapal perang Angkatan Laut RI.

Kota Cirebon tahun ini berulang tahun yang ke-642. Hari jadi kota Cirebon tidak menggunakan penanggalan Masehi,tetapi mengikuti penanggalan Hijriah, yakni setiap tanggal 1 Muharam (1 Syura). Pada tanggal 1 Muharam 791 H Syekh Datul Kahfi memerintahkan kepada muridnya,Pangeran Cakrabuana pendiri Kerajaan Pakungwati untuk membuka hutan di kawasan pesisir Cirebon untuk dijadikan pemukiman penduduk, yang kemudian menjadi Kasultanan Cirebon.Syekh Datul Kahfi adalah kakak dari ibu Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,salah satu dari Sembilan Wali penyebar agama Islam di tanah Jawa. Yang masih dikenang (dan kemudian dianut) warga masyarakat Cirebon sampai saat ini adalah Wasiat Sunan Gunung Jati dalam bahasa Cirebon “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”, yang artinya “Aku menitipkan surau dan fakir miskin”. Sebuah artikulasi yang sangat dalam maknanya dan masih relevan untuk dilaksanakan sampai saat ini.

2.Ki Gede Sebayu dalam narasi yang datar dan sepi.

Sebagai produk sejarah nama Ki Gede Sebayu tidak se”populer” Fatahillah atau Faletehan dan Sunan Gunung Jati.Dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Ki Gede Sebayu adalah putra Adipati Purbalingga (Pangeran Onje). Ia dikirim oleh ayahnya untuk mengabdi kepada Sultan Pajang Hadiwidjoyo (1549-1582) dan menjadi prajurit Kerajaan Pajang.Akibat "frustasi" menyaksikan kekacauan di Pajang yang disebabkan perebutan kekuasaan antar keluarga yang tidak kunjung reda,Ki Gede Sebayu melepas atribut kebangsawanan dan mengembara mencari hakekat hidup.Dengan diikuti oleh 40 pasangan keluarga,yaitu mereka yang terpilih memiliki berbagai ilmu dan ketrampilan, Ki Gede Sebayu melakukan misi perjalanan ke arah barat.Menurut kisah sampailah rombongan ini di tlatah Tegal, yang konon masih berupa lapangan luas (tegalan).Tujuan misi ini sangat mulia yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengembangkan agama Islam.Masing-masing anggauta rombongan,sesuai dengan keahliannya, dititipkan pada keluarga-keluarga sepanjang Kaligung, dan berakhir di Kalisoka (Kec.Dukuhwaru sekarang).Mereka kemudian menularkan keahliannya dibidang pertanian,pengairan,pertukangan,penenun kain,pandai besi,kemasan,dan guru-guru pengajar agama Islam.Bahkan Ki Gede Sebayu berhasil membangun sebuah masjid dan bendungan irigasi,yang sangat bermanfaat bagi para petani.Atas keberhasilan misi tersebut,maka pada pada hari Rabu Kliwon 12 Robiul’awal 1010 H, atau 18 Mei 1601 oleh Panembahan Senopati raja Mataram beliau dianugrahi gelar Juru Demung (Demang). Titi mangsa itulah yang kemudian dipakai untuk menandai Hari Jadi Kabupaten Tegal.Kisah yang sama juga digunakan oleh Pemerintah Kota Tegal untuk menandai Hari Jadinya ,namun jatuh pada tanggal 12 April 1580, atau 21 tahun lebih tua.

Narasi tokoh Ki Gede Sebayu dalam pengembaraan panjang dan melelahkan memang terasa datar dan sepi. Kita bisa membayangkan,bagaimana iring-iringan puluhan orang yang terdiri dari para prajurit,petani,tukang kayu,tukang besi,ulama,termasuk wanita dan ibu-ibu,berjalan melintasi lembah dan pegunungan,menyeberang sungai dan menyusuri pantai. selama berhari-hari.Dari kacamata literasi,ini adalah sebuah epos yang sangat spektakuler. Namun misi suci Ki Gede Sebayu yang sangat luar biasa tersebut seolah hanya peristiwa biasa.Padahal peristiwa tersebut dari aspek politik dan sosial budaya memiliki nilai yang sangat besar,yakni :

1.Menguatnya legitimasi kekuasaan Mataram di wilayah barat,terbukti kemudian dengan diangkatnya keturunan Ki Gede Sebayu menjadi Adipati di Tegal dan Brebes.
2.Terbangunnya pranata sosial dan kemakmuran melalui budaya bercocok tanam sebagai modal dasar ketahanan dan pertahanan suatu wilayah.Hal ini perlu dilakukan,karena waktu itu adalah awal masuknya kolonialisme Belanda (1601) yang diyakini akan menguasai dan menghancurkan kerajaan-kerajaan di tanah Jawa.

Sayangnya gagasan futuristik tersebut tidak sempat diartikulasikan dalam sebuah narasi besar yang akan dicacat oleh sejarah dan dikenang oleh generasi yang bakal datang.Ki Gede Sebayu tidak pernah mewariskan kredo seperti halnya Sunan Gunung Jati : Ingsun titip tajug lan fakir miskin. Atau Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada : Lamun huwus kalah Nusantara,isun amukti palapa….

3.Membangun karakter sambil membangkitkan imajinasi.

Dengan peringatan Hari Jadi Kabupaten Tegal yang diselenggarakan setiap tahun,diharapkan akan terbangun karakter warga yang memiliki ciri dan perilaku sebagaimana yang ingin diteladankan Ki Gede Sebayu.Untuk mengaktualisasikan dan mengomunikasikan teladan luhur tersebut kehadapan khalayak,bukan hal yang mudah,mengingat panjangnya rentang waktu masa silam.Imajinasi khalayak tentang Ki Gede Sebayu yang tidak ditopang oleh referensi dan korelasi profil yang stereotip,khas,dengan “his story” yang unik,dramatik apalagi heroik,kiranya sangat sulit untuk dimunculkan.Acara dan upacara setahun sekali yang lebih bersifat formal dan artifisial,pidato-pidato dan kirab pusaka serta tampilan para pejabat yang feodalistik aristokratif,semakin menjauhkan dengan misi budaya pertanian dan pedesaan ,yang masih tetap relevan dengan problem mayoritas masyarakat Kabupaten Tegal.Diperlukan gagasan yang cerdas untuk bisa sekadar menyentuhkan misi Ki Gede Sebayu 4 abad yang lalu.Sehingga nama Ki Gede Sebayu akan bisa terpateri dalam sanubari setiap warga Kabupaten Tegal. ***

(Disajikan pada Malam Renungan Peringatan Hari Jadi
Kabupaten Tegal Ke-410 yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi IdeA,
Senin 30 Mei 2011 di Gedung Kesenian Slawi)

Senin, 07 Februari 2011

Hadiah Rancage 2011. Penghargaan untuk Bahasa dan Sastra Tegal.

Rancage adalah kosakata bahasa Sunda yang berarti kreatif atau kreatifitas. Yayasan Kebudayaan Rancage didirikan pada th.1989 oleh Dr.Ayip Rosidi (73 th) mantan Guru Besar Tamu pada Osaka Gaikokugo Daigaku (Univ.Bahasa Asing Osaka) dan pendiri Pusat Studi Sunda.Sejak th.1989 setiap tahun Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan Hadiah Sastra “Rancage” untuk karya sastra bahasa Sunda.Kemudian sejak th.1984 Hadiah Sastra “Rancage” juga diberikan kepada karya sastra bahasa daerah lain (Jawa,Bali,Lampung dsb.) Disamping untuk karya sastra , Hadiah “Rancage” juga diberikan kepada orang yang dianggap berjasa besar dalam memelihara dan mengembangkan bahasa dan sastra di daerah.
Hadiah Sastra Rancage 2011 untuk sastra Sunda diberikan untuk ”Halis Pasir”, kumpulan cerita pendek karya Us Tiarsa, terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung. Selama 2010, kata Ajip, ada 24 penerbitan buku bahasa Sunda, tidak dihitung kamus.Adapun yang terpilih untuk menerima Hadiah Sastra Rancage 2011 sastra Sunda untuk jasa berdasarkan kreativitasnya yang panjang serta telah memperkaya sastra Sunda ialah H Usep Romli. Ia banyak menulis bacaan kanak-kanak, baik dalam bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia selama lebih dari 30 tahun.
Hadiah Sastra Rancage 2011 untuk sastra Jawa diberikan pada ”Pulo Asu”, kumpulan cerita karya Herwanto, terbitan Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro.Adapun orang yang dianggap besar jasanya dalam memelihara dan mengembangkan bahasa dan sastra Jawa, terutama dialek Tegal, ialah Lanang Setiawan.
Hadiah Sastra Rancage 2011 untuk sastra Bali diberikan pada ”Sang Lelana”, kumpulan sajak karya IDK Raka Kusuma, terbitan Sanggar Buratwangi.Adapun yang memperoleh Hadiah Sastra Rancage 2011 untuk jasa dalam memelihara dan mengembangkan bahasa dan sastra Bali adalah Bali Orti, sisipan bahasa Bali surat kabar Bali Post Minggu. Sisipan Bali Orti (Kabar Bali) mulai terbit dalam Bali Post Minggu pada 20 Agustus 2006.
Penghargaan untuk Lanang Setiawan,penulis/penggiat sastra dan Bahasa Tegal, pada hakekatnya adalah juga penghargaan untuk sastra dan bahasa Tegal.Selama ini orang banyak mempertanyakan tentang keberadaan sastra dan bahasa Tegal.Padahal kegiatan ini sejatinya sudah berlangsung sejak lama dan dilakukan oleh banyak penulis,sastrawan,bahkan tokoh-tokoh masyarat di kota/kab. Tegal.Berikut adalah sekelumit tentang prestasi Lanang Setiawan yang sempat dicatat oleh fihak Yayasan Kebudayaan Rancage,sebagai referensi untuk pemberian hadiah Rancage 2011.
Lanang mulai kelihatan usahanya memajukan bahasa Jawa dialék Tegal pada tahun 1984. Dia menterjemahkan sajak Réndra “Nyanyian Angsa” menjadi “Tembangan Banyak”. Usahanya itu diikuti oleh kawannya Rofie Dimyati yang menterjemahkan sajak Réndra “Rick dari Corona”. Lanang juga menterjemahkan sajak-sajak Chairil Anwar, antaranya “Karawang Bekasi”. Terjemahannya dalam bahasa Jawa dialék Tegal itu sering dibacakan di panggung di berbagai daérah, antaranya di Taman Budaya Jawa Tengah (Solo) dan di Kabupatén Indramayu. Lanang menulis dalam bahasa Jawa dialék Tegal antaranya roman Tegal Bledugan, kumpulan guritan Nggayuh, naskah drama Surti Gandrung, Lenggaong, Ni Ratu dan Kén Arok Gugat. Lanang sering menyelenggarakan pertunjukan baca guritan dalam bahasa Jawa dialék Tegal dan pernah berhasil mengajak bupati, walikota dan Ketua DPRD Tegal membaca guritan Tegalan di Warung Aprésiasi Sastra di Bulungan yang kegiatannya tidak hanya membaca sajak saja, melainkan juga mengadakan pertunjukan lagu-lagu dialék Tegal. Lanang menyusun Wangsalan Tegalan, Kamus Tegalan, Kumpulan Puisi Tegalan dan membina Koran Tegal. Setiap hari Lanang menulis kolom “Anéhdotegalan” dalam sk. Nirmala Post yang terbit di Tegal. Dalam tahun 2008 Lanang menerima Anugerah Seni dari Déwan Kesenian kota Tegal.
Sebagai penghargaan terhadap usahanya membina dan mengembangkan bahasa serta sastera Jawa dialék Tegal, Hadiah Sastera “Rancagé” 2011 sastera Jawa untuk jasa, dihaturkan kepada Lanang Setiawan berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta), yang akan diserahkan pada akhir April 2011di Universitas Islam Negeri (UIN) Gunung Jati Bandung.(Sebagian tulisan ini dikutip dari Surat Ketua Dewan PembinaYayasan Kebudayaan “Rancage” kepada Kompas.com)***

Senin, 31 Januari 2011

Dari Slawi Membangun Mimpi

Saya pernah ditanya seseorang,apakah saya orang Tegal atau orang Kabupaten.Mendapat pertanyaan yang tidak terduga seperti itu,saya tidak segera menjawab.Ketika saya jelaskan bahwa saya tinggal di Adiwerna,orang tersebut bilang bahwa saya orang Kabupaten.Sedangkan dia mengaku sebagai orang Tegal,karena rumahnya di desa Debong Lor.Saya baru menyadari ternyata ada orang Tegal dan ada orang Kabupaten Tegal yang bukan orang Tegal.Bingung kan?

Beberapa waktu yang lalu,ketika Limbad dinobatkan sebagai The Master Megician keponakan saya yang tinggal di Jakarta kirim SMS “wah,hebat ya pakde,orang Tegal bisa jadi The Master…”.Teringat kasus Adiwerna-Debong Lor yang saya ceritakan diatas, saya mencoba meluruskan keponakan saya,dan menjawab SMS-nya “Gus,Limbad bukan orang Tegal,tapi orang Kabupaten”. SMS saya ternyata tidak dijawab lagi.Saya pikir keponakan saya sudah bisa memahami perbedaan orang Tegal dan orang Kabupaten.Atau dia malah bingung ?

Saya sengaja mengangkat kasus yang tidak lucu ini untuk membuka wacana,, bahwa ada kerancuan makna dan miskomunikasi setiap kita menyebut Kabupaten Tegal. Miskomunikasi ini,setidaknya berpengaruh kepada citra Kabupaten Tegal yang yang ingin kita bangun.Karena kata Tegal, tidak secara otomatis mengandung makna Kabupaten TegalTegal lebih diartikan sebagai Kota Tegal. Tegal secara mutlak telah diklaim menjadi Kota Tegal.Akibatnya Kabupaten Tegal,meskipun mengandung kata Tegal,tetapi menjadi bukan Tegal. Kabupaten Tegal,adalah abstrak.

Wacana yang bikin bingung dan rancu ini sesungguhnya berawal dari terbitnya UU No.13 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Kabupaten dan Kodya di Jawa Tengah. Berdasarkan UU ini,maka sejak tahun 1950 wilayah Tegal dibagi menjadi 2 daerah pemerintahan, yaitu Dati II Kabupaten Tegal dan Dati II Kodya Tegal (sekarang Kabupaten Tegal dan Kota Tegal).Kemudian terbit pula PP No.2 tahun 1984 yang mengatur tentang pemindahan ibukota Kabupaten dari Tegal ke Slawi.

Yang lebih rancu lagi kata kabupaten sering disandingkan (atau dilawankan) dengan kata kota, disambung dengan garis miring menjadi kabupaten/kota.Bahkan dalam UU Otonomi Daerah (No.32/2004),sejak pasal 4 dan seterusnya di banyak sekali pasal-pasal yang menerangkan tentang kabupaten/kota.

Andaikata saya boleh bermimpi apa saja tentang Kabupaten Tegal,maka impian saya yang pertama adalah merubah bunyi UU No.13 tahun 1950, agar nama Dati II Tegal diubah menjadi Dati II Slawi. Sehingga sekarang menjadi Kabupaten Slawi. Bukankah sangat tepat kalau kota Slawi menjadi ibukota Kabupaten Slawi?. Sehingga tidak ada lagi dualisme dan dikotomi Tegal yang membingungkan itu. Sayangnya mimpi saya yang satu ini mustahil bisa menjadi kenyataan.Atau malah saya yang dianggap ngayawara (aneh).

Dalam kehidupan modern, kota dicitrakan sebagai barometer kemajuan,gaya hidup , bahkan arsitektur dan tata ruang.Selalu terang benderang dan berkilau. Itu sebabnya slogan Kota Tegal “Keminclong Moncer Kotane”. Pas banget. Sementara kabupaten, karena memiliki pengertian yang komplek,dan sulit digambarkan secara fisik, sering diasosiasikan dengan wilayah yang luas,sebagian besar pedesaan,sawah atau pantai yang gersang.Gambaran lain tentang kabupaten adalah ibu kotanya yang tidak terkenal,kecil,sepi,minim sarana,banyak bangunan baru tapi tidak berkualitas dan sebagainya. Tidak heran kalau kita mengalami kesulitan dalam mendeskripsikan kabupaten Tegal dalam sebuah kalimat yang mentereng dan ekspresif sehingga bisa menjadi slogan. Slogan ‘Kabupaten Tegal sing Ngangeni lan Mbetahi’ menurut saya samasekali tidak ekspresif dan imajinatif. Bahkan menjadi narasi pasif yang dari segi promosi tidak marketable.Dualisme dan dikotomi ini telah melahirkan stigma yang yang buruk bagi kabupaten Tegal..Beberapa contoh ibukota kabupaten lain yang bernasib sama dapat disebutkan antara lain Kajen (Kab.Pekalongan),Ungaran (Kab. Semarang),Mungkid (Kab.n Magelang) dan Sumber (Kab.Cirebon).Kota-kota tersebut barangkali tidak jauh kondisinya dengan Slawi. Sama-sama kurang dikenal dan sama-sama sibuk membenahi dirinya. Mengapa demikian? Karena semua ibukota kabupaten sebelumnya adalah kota kecamatan atau kawedanan yang dikembangkan dengan membangun sarana dan prasarana yang memadai. Sementara itu ibukota kabupaten lama yang sudah mapan selama puluhan tahun harus ditinggalkan dan diwariskan kepada pemerintah kota yang baru. Selama 25 tahun kota Slawi dengan tertatih-tatih harus berbenah untuk menampilkan wajah yang representatif sebagai ibukota sebuah wilayah yang sangat luas dan potensial : 87.879 Ha,18 kecamatan,272 desa dan 6 kelurahan, dengan jumlah penduduk 1,5 juta.

Berangkat dari kota Slawi yang menanggung beban sejarah itu, saya ingin merajut mimpi-mimpi saya tentang Kabupaten Tegal. Dalam pandangan saya Slawi seharusnya menjadi pusat pertumbuhan dan episentrum gerakan dalam memajukan kabupaten.Oleh karenanya Slawi harus diangkat pamornya,agar bebas dari sindrom “ibukota kabupaten yang tidak terkenal”,seperti halnya Kajen,Mungkid atau Sumber. Intinya Slawi harus dikenal dan kemudian jadi terkenal.Dalam era informasi dan komunikasi kita bisa menyusun kampanye pencitraan tentang kota Slawi.Kalau teh Sosro bisa terkenal,mengapa Slawi tidak?.Padahal nama Slawi dicantumkan dalam setiap kemasan teh Sosro.Andai saja Ki Enthus Susmono mau merubah label sebagai “Dalang saka Slawi” (Bukan Dalang saka Tegal,seperti yang tertera dikaca mobilnya).Andai saja Slamet Gundono saat berkeliling di manca negara mengatakan bahwa ia bukan dari Tegal,tapi dari Slawi.Andai sajaMaster Limbad mau mencantumkan label di jas hitamnya “Mr.Limbad Slawi...” dan masih banyak lagi trick kampanye media yang bisa dilakukan. Sementara itu Pemerintah Kabupaten harus segera merampungkan proyek Bunderan Slawi, Mesjid Agung , Gedung Perpustakaan dan Jalingkos. Sehingga setiap orang yang melintasi jalur selatan akan memperoleh kesan positif setelah meliht penanda kota (land mark) Slawi,yang konon mereplika land mark Bumi Sepong damai.

Mari kita bermimpi tentang Slawi terlebih dahulu,sebelum bermimpi panjang tentang Kabupaten Tegal. Karena mimpi tentang Slawi juga mimpi tentang Kabupaten Tegal.Slawi tidak harus dibangun dengan mendirikan hotel berbintang, mall ,supermarket dan restoran mewah. Slawi tidak mungkin menjadi kota niaga.Tidak perlu ada bank-bank besar. Tetapi Slawi harus punya Taman Budaya,bukan sekadar Gedung Kesenian.Saya tahu di Slawi dan sekitarnya banyak bermukim seniman dan seniwati,dalang,teater,musik,sastra,tari senirupa, bahkan pekerja film dan sinetron. Berikan kepada mereka ruang dan kesempatan untuk mengekpresikan dan mengeksplor kemampuan mereka.Tingkatkan anggaran untuk seni dan budaya.Berikan anugerah dan penghargaan tahunan untuk mereka yang telah mengukir prestasi dan mengabdikan diri untuk pengembangan dan pelestarian seni budaya.Hanya dengan insentif seperti itu Pemerintah Kabupaten dapat melahirkan seniman-seniman besar. Bukan sekedar anggaran ala kadarnya untuk Dewan Kesenian yang untuk menopang kegiatan rutin saja tidak pernah cukup.Festival,diskusi,seminar,workshop dan kegiatan penunjang kesenian lainnya,harus sering,rutin dan teragenda. Kegiatan simultan semacam ini saya yakin akan menumbuhkan apa yang sedang menjadi tren, yakni industri kreatif dalam sektor budaya dan pariwisata.Menurut hemat saya berkembangnya Slawi sebagai kota budaya,sangat paralel denganVisi-Misi Kabupaten Tegal 2009-2014 poin 2d.yakni stimulasi aktifitas produksi dan inovasi dalam berbagai bidang (ekonomi,budaya,seni),yang dapat berfungsi sebagai sektor non formal jejaring sosial. Barangkali itulah sosok kota Slawi yang tidak saja bersih ,rapi,tidak pengap,tidak hiruk pikuk,tidak macet, tetapi memiliki spirit dan karakter masyarakat Tegal yang khas dan spesifik.Masyarakat yang yang kreatif dan terbuka.

Satu lagi impian saya sudah tentu menyangkut segera direalisasikannya pendirian Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL),baik radio maupun televisi.Mekipun wacana tentang LPPL ini sudah lama sakali digulirkan,tetapi masih belum direspon oleh pihak-pihak terkait.Padahal ini menyangkut pelaksanaan UU Penyiaran No.32/2002 dan PP 11/2005.Berdasarkan UU dan PP tersebut,intinya Pemerintah Daerah tidak lagi diperbolehkan memiliki lembaga penyiaran.Malahan RRI dan TVRI pun sudah lama berubah statusnya menjadi lembaga penyiaran publik nasional.Saat ini keberadaan RSPD (Pertiwi FM) sudah tidak lagi sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang ada.Seharusnya DPRD Kabupaten Tegal segera memproses pendirian Radio Publik Lokal, dengan merubah status RSPD (Pertiwi FM), menjadi LPPL.Dengan demikian,maka masyarakat (publik) akan mempunyai media penyiaran sendiri yang independen dan bukan semata-mata menjadi corong pemerintah (daerah). Bahkan idealnya, masyarakat Kabupaten Tegal (sudah tentu difasilitasi Pemerintah Kabupaten dan DPRD Kabupaten) juga memiliki siaran televisi sendiri.Dengan wilayah yang sangat luas dan jumlah penduduk yang besar, saya yakin melalui LPPL radio maupun televisi (Slawi FM dan TV Slawi) masyarakat Kabupaten Tegal akan lebih mantap mengekspresikan budaya dan kearifan lokal, serta memiliki kebanggaan dan jati diri.Dan sudah pasti akan mampu mendongkrak citra dan pamor kota Slawi.

Demikian mimpi sederhana saya tentang Kabupaten Tegal.Bagi seorang praktisi media penyiaran yang sudah jatuh cinta dengan kabupaten Tegal selama 25 tahun,saya yakin mimpi saya bukanlah angan-angan kosong.Saya juga meyakini kemampuan SDM di Kabupaten Tegal mampu mewujudkan impian ini.Dengan catatan seluruh komponen pemerintah Kabupaten Tegal memiliki komitmen yang tinggi untuk bergotong royong mengabdi dan melayani masyarakat dengan ikhlas, sesuai dengan visi dan misi Kabupaten Tegal 2009-20014.

(Naskah ini dimuat dalam buku Kabupaten Tegal,
Mimpi,Perspektif dan Harapan,diterbitkan oleh
Bag.Humas Setda Kabupaten Tegal 2010)


****

DOA HARI INI

Ya Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang Maha Perkasa dan yang Maha Bijaksana…. Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan….Saat ini dalam sunyi dan gelita,saat aku menunggu pagi yang cemerlang, aku yakin Engkau takkan pernah meninggalkanku, apalagi membenciku. Oleh karenanya ya Allah yang Maha Memberi dan Maha Pelindung ,dengan khusyu’ aku bersimpuh dihadapanMu laksana anak yatim yang sesat dan mengharap perlindunganmu. Sementara malampun merunduk dan pergi dengan diam2,kedua lutut dan lenganku kembali lemah dan terkulai. Terseok langkahku karena beban yang sarat dengan timbunan rakhmat yang telah Engkau kucurkan selama 72 tahun. Aku hanya mampu mengucap syukur dengan sangat sangat lirih,dalam helaan napas satu2 ….karena urat dan nadiku yang semakin renta. Semoga Engkau tiada bosan mendengar doa ini, ya Allah…. Doa yang selalu ku-ulang2 semenjak entah berapa tahun yang lalu…

Ya Allah yang Maha Pengampun …. jika usia adalah karunia dan kesehatan adalah kesempatan agar aku mampu menyeret langkahku dalam keterpurukan dan kehinaan menunju singgasanaMu, ….maka ampunilah segala dosa2ku. Amin. (Adiwerna, 26 Januari 2011).