Sabtu, 12 September 2009

Memaknai Substansi Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL)

Siaran Radio Sebayu FM (Radio Siaran Pemerintah Daerah Kota Tegal) diminta untuk dihentikan, dikarenakan ijin sudah habis. Permintaan tersebut disampaikan kepada Walikota Tegal oleh salah satu Ketua Fraksi dalam rapat paripurna DPRD Kota Tegal. untuk menghindari dampak pelanggaran hukum dan sebagai bentuk pembelajaran kepada masyarakat untuk taat hukum (SM, 16/7). Berita tersebut sudah tentu mengundang perhatian khalayak, khususnya pemerhati dan praktisi penyiaran. Masalah ini berawal ketika Komisi C DPRD Kota Tegal mempertanyakan status Radio Sebayu FM yang tidak jelas SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang mengampunya. Hal tersebut terungkap saat rapat dengan Bagian Humas dan Protokol untuk membahas pembentukan Dewan Pengawas Radio Sebayu FM (26/5). Semenjak pemberlakuan SOTK Baru, Radio Sebayu FM/RSPD Tegal memang tidak lagi dibawah Bagian Humas tetapi dialihkan kedalam Dishubkominfo Kota Tegal. Pengalihan ini menimbulkan masalah terkait dengan rencana perubahan status Radio Sebayu FM dari RSPD menjadi LPPL (Lembaga Penyiaran Publik Lokal) dan realisasi sejumlah anggaran APBD 2009 untuk perbaikan dan pengembangan radio tersebut.
Status Radio Sebayu FM seharusnya sudah “diperjelas dan dipertegas” dengan lahirnya UU Penyiaran (No.32/2002) dan PP No.11/2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik serta Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jateng tentang Pedoman dan Pendirian dan Perijinan LPPL (No.002/Per/KPID-JTG/X/2005). Dengan UU dan PP tersebut tidak ada pilihan lain kecuali melepaskan status RSPD untuk tidak lagi menjadi bagian dari birokrasi pemerintah daerah. Diharapkan RSPD segera merubah statusnya sebagaimana RRI dan TVRI yang sudah terlebih dahulu otonom menjadi LPP. Namun rupanya banyak pihak belum sepenuhnya sepakat dan sefaham dalam memaknai substansi LPPL sebagai sebuah lembaga yang baru. Keberadaan RSPD selama lebih dari 30 tahun sebagai lembaga penyiaran milik pemerintah daerah,dengan anggaran yang dikucurkan setiap tahun, telah memberikan pelbagai “privilege” secara finansial maupun kepentingan sosial lainnya bagi orang-orang yang terlibat didalamnya. Sehingga perubahan status yang dikehendaki oleh undang-undang disikapi setengah hati. Hal ini lah yang menyebabkan proses perubahan status sebagaimana yang dipaparkan diatas berjalan tersendat.
Mengingat bahwa tenggat waktu 1 tahun yang diberikan oleh ps.55 PP No.11/2005 untuk menyesuakan statusnya sudah molor selama 3 tahun,maka perubahan status RSPD menjadi LPPL harus segera dituntaskan. Pemkot dan DPRD diharapkan melakukan langkah-langkah yang tepat dan terukur untuk mencapai pemahaman bersama yang lebih komprehensif mengenai LPPL. Sebagaimana diketahui LPPL adalah sebuah lembaga penyiaran yang didirikan oleh pemerintah (daerah) dan pengelolaannya bertumpu kepada APBD. Karena statusnya sebagai lembaga publik, maka diperlukan adanya perangkat Dewan Pengawas yang merepresentasikan kepentingan publik.
Sesuai undang-undang, Dewan Pengawas diangkat oleh DPRD melalui uji kelayakan dan kepatutan. Perangkat inilah yang memegang otoritas penuh dalam menyusun kebijakan dan arah program lembaga penyiaran tersebut. Dewan Pengawas wajib menjamin bahwa walaupun LPPL ini dibiayai oleh APBD, bukan berarti harus berfihak hanya kepada pemerintah daerah, tetapi juga harus mementingkan kemaslahatan masyarakat. Memang diperlukan adanya komitmen bersama para stakeholders (pemerintah daerah,legislatif dan dewan pengawas) dalam mematuhi aturan main berdasarkan semua perundangan yang berlaku. Rencana DPRD Kota Tegal untuk segera mengadakan public hearing dengan mengundang tokoh masyarakat, akademisi,mahasiswa dan kalangan pemerhati penyiaran merupakan langkah yang bijaksana. Selama ini baik saat penyusunan perda tentang LPPL maupun rekruitmen pembentukan Dewan Pengawas, masyarakat tidak memperoleh informasi yang transparan dan memadai.
Dalam seminar sehari tentang “Prospek LPPL di Jawa Tengah” di Sragen (13/11/2007) yang dihadiri 35 Kabag Humas/Kantor Infokom dan beberapa anggauta DPRD se Jateng , terungkap bahwa LPPL dan RSPD “serupa tetapi tak sama”. Dalam kontek makro lebih banyak perbedaannya, terutama dari sisi materi dan operasional penyelenggaraannya. LPPL merupakan “makhluk baru” yang hadir ditengah era kompetisi penyiaran. LPPL sebagai lembaga penyiaran dari dan untuk publik (yang didanai pemerintah), tidak lagi menjadi “alat / corong pemerintah” tetapi menjadi “mitra pemerintah” dengan melibatkan elemen masyarakat. LPPL akan menjadi pilar utama demokrasi dan menjamin terciptanya peran masyarakat dalam mengelola informasi,mengembangan seni budaya dan pendidikan moral yang ada di daerah.
Ketua KPID Jateng Drs.Amirudin MA dalam seminar tersebut menyatakan bahwa “UU Penyiaran/2002 mengharuskan berdirinya LPPL dengan merubah status dan badan hukum RSPD. Kalau RSPD tidak diubah (menjadi LPPL) maka potensi pelanggaran UU Penyiaran/2002 menjadi nyata.Karena selama ini RSPD mempunyai dua jenis kelamin, yakni “swasta dan pemerintah”. Disatu sisi ia memperoleh pendanaan dari APBD, namun disisi lain ia mencari keuntungan selayaknya radio swasta. Hal ini mengakibatkan iklim pengembangan usaha media di daerah menjadi tidak sehat.
Untuk mendorong perubahan ini KPID Jateng telah menerbitkan Peraturan Pembentukan LPPL dan melakukan pendampingan kepada seluruh pengelola RSPD. Namun sejauh ini langkah KPID terasa lamban karena tidak menetapkan batas waktu dan terkesan memberikan toleransi. Padahal permohonan perijinan lembaga penyiaran membutuhkan proses dan waktu yang sangat panjang. Tidak hanya penyusunan Perda yang harus memenuhi persyaratan baku, tetapi juga sejumlah kelengkapan persyaratan lain yang relatif tidak mudah. Misalnya latar belakang,visi dan misi,susunan pengelola, uraian tentang program,anggaran dan sarana-prasarana teknis. Sebelum diterbitkan rekomendasi kelayakan oleh KPID, masih harus melalui tahapan EDP (evaluasi dan dengar pendapat) antara KPID dengan masyarakat lokal dan beberapa lembaga serta instansi terkait. Kemudian tahapan yang paling menentukan adalah Forum Rapat Bersama ditingkat Menteri Kominfo dan KPI Pusat, untuk meloloskan atau menolak permohonan ijin penyiaran LPPL yang akan berlaku untuk 5 tahun.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar