Senin, 07 Februari 2011
Hadiah Rancage 2011. Penghargaan untuk Bahasa dan Sastra Tegal.
Hadiah Sastra Rancage 2011 untuk sastra Sunda diberikan untuk ”Halis Pasir”, kumpulan cerita pendek karya Us Tiarsa, terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung. Selama 2010, kata Ajip, ada 24 penerbitan buku bahasa Sunda, tidak dihitung kamus.Adapun yang terpilih untuk menerima Hadiah Sastra Rancage 2011 sastra Sunda untuk jasa berdasarkan kreativitasnya yang panjang serta telah memperkaya sastra Sunda ialah H Usep Romli. Ia banyak menulis bacaan kanak-kanak, baik dalam bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia selama lebih dari 30 tahun.
Hadiah Sastra Rancage 2011 untuk sastra Jawa diberikan pada ”Pulo Asu”, kumpulan cerita karya Herwanto, terbitan Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro.Adapun orang yang dianggap besar jasanya dalam memelihara dan mengembangkan bahasa dan sastra Jawa, terutama dialek Tegal, ialah Lanang Setiawan.
Hadiah Sastra Rancage 2011 untuk sastra Bali diberikan pada ”Sang Lelana”, kumpulan sajak karya IDK Raka Kusuma, terbitan Sanggar Buratwangi.Adapun yang memperoleh Hadiah Sastra Rancage 2011 untuk jasa dalam memelihara dan mengembangkan bahasa dan sastra Bali adalah Bali Orti, sisipan bahasa Bali surat kabar Bali Post Minggu. Sisipan Bali Orti (Kabar Bali) mulai terbit dalam Bali Post Minggu pada 20 Agustus 2006.
Penghargaan untuk Lanang Setiawan,penulis/penggiat sastra dan Bahasa Tegal, pada hakekatnya adalah juga penghargaan untuk sastra dan bahasa Tegal.Selama ini orang banyak mempertanyakan tentang keberadaan sastra dan bahasa Tegal.Padahal kegiatan ini sejatinya sudah berlangsung sejak lama dan dilakukan oleh banyak penulis,sastrawan,bahkan tokoh-tokoh masyarat di kota/kab. Tegal.Berikut adalah sekelumit tentang prestasi Lanang Setiawan yang sempat dicatat oleh fihak Yayasan Kebudayaan Rancage,sebagai referensi untuk pemberian hadiah Rancage 2011.
Lanang mulai kelihatan usahanya memajukan bahasa Jawa dialék Tegal pada tahun 1984. Dia menterjemahkan sajak Réndra “Nyanyian Angsa” menjadi “Tembangan Banyak”. Usahanya itu diikuti oleh kawannya Rofie Dimyati yang menterjemahkan sajak Réndra “Rick dari Corona”. Lanang juga menterjemahkan sajak-sajak Chairil Anwar, antaranya “Karawang Bekasi”. Terjemahannya dalam bahasa Jawa dialék Tegal itu sering dibacakan di panggung di berbagai daérah, antaranya di Taman Budaya Jawa Tengah (Solo) dan di Kabupatén Indramayu. Lanang menulis dalam bahasa Jawa dialék Tegal antaranya roman Tegal Bledugan, kumpulan guritan Nggayuh, naskah drama Surti Gandrung, Lenggaong, Ni Ratu dan Kén Arok Gugat. Lanang sering menyelenggarakan pertunjukan baca guritan dalam bahasa Jawa dialék Tegal dan pernah berhasil mengajak bupati, walikota dan Ketua DPRD Tegal membaca guritan Tegalan di Warung Aprésiasi Sastra di Bulungan yang kegiatannya tidak hanya membaca sajak saja, melainkan juga mengadakan pertunjukan lagu-lagu dialék Tegal. Lanang menyusun Wangsalan Tegalan, Kamus Tegalan, Kumpulan Puisi Tegalan dan membina Koran Tegal. Setiap hari Lanang menulis kolom “Anéhdotegalan” dalam sk. Nirmala Post yang terbit di Tegal. Dalam tahun 2008 Lanang menerima Anugerah Seni dari Déwan Kesenian kota Tegal.
Sebagai penghargaan terhadap usahanya membina dan mengembangkan bahasa serta sastera Jawa dialék Tegal, Hadiah Sastera “Rancagé” 2011 sastera Jawa untuk jasa, dihaturkan kepada Lanang Setiawan berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta), yang akan diserahkan pada akhir April 2011di Universitas Islam Negeri (UIN) Gunung Jati Bandung.(Sebagian tulisan ini dikutip dari Surat Ketua Dewan PembinaYayasan Kebudayaan “Rancage” kepada Kompas.com)***
Selasa, 26 Januari 2010
Dokumen Jadul : Geboorte Bewijs (GB)& Rapport Boekje (RB)
Dokumen jadul yang satu lagi adalah sebuah buku rapor, waktu aku sekolah SD atau Sekolah Rendah. Sampulnya bergambar Gedung Sekolah dan 2 pohon kelapa, tertulis Boekoe Rapor / Rapport Boekje.Buku rapor ini menggunakan Bahasa Belanda dan Bahasa Indonesia ejaan lama.Misalnya Geboortedatum of vermoedelijke leeftijd bij het school begin (Tanggal lahir atau oemoer agakan (mungkin maksunya kira2),ketika moelai masoek sekolah.Nilaiku waktu kelas 5 tercantum : Eerste taal (Bahasa jang pertama/Indonesia ) 7, Lezen (Membaca) 8, Schrijven (Menulis) 7, Rekenen (Berhitoeng) 7, Aardrijkskunde (Ilmoe Boemi) 7 dan seterusnya.Sedangkan tanggal penerimaan rapor, tertulis 1/12/1949.
Lucu juga membaca dokumen jadul yang unik seperti itu.
Doa Hari Ini.
Hari ini adalah hari yang khusus dan istimewa bagiku. Oleh karenanya dengan khusyu’ aku bersimpuh dihadapanMu. Sementara wajah dan kedua tanganku sudah lemah lunglai, sehingga tiada lagi mampu menengadah,karena sarat dengan timbunan rahmat dan ampunan yang telah Engkau kucurkan selama 71 tahun..
Jika usia adalah karunia dan kesehatan adalah kesempatan dimana aku harus menyeret langkah dalam keterpurukan dan kehinaan menuju singgasanaMu, maka ampunilah segala dosa-dosaku Ya Allah.Semoga ucap syukurku yang lirih ini dapat Kau dengar, dan semoga Engkau tambahkan rahmatMu….Amin.
(Terimakasih untuk teman2 ,sahabat dan kerabat,para seniman/budayawan,radiowan yang telah menyampaikan ucapan selamat disertai doa, semoga Allah Swt. Senantiasa melimpahkan rahmatNya kepada kita sekalian. Adiwerna, 26 Januari 2010)
Jumat, 25 Desember 2009
Seniman dan Banalisasi Kebudayaan
Kesabaran adalah bumi
Kebranian menjadi cakrawala
Dan perjuangan
Adalah pelaksanaan kata-kata
……………………
Inilah sajakku,pamflet masa darurat
Apakah artinya kesenian,bila terpisah dari derita lingkungan
Apakah artinya perpikir,bila terpisah dari masalah kehidupan
……………………
( WS Rendra)
Banalisasi atau pendangkalan makna sedang melanda Kebudayaan kita.
Makna Kebudayaan sebagai upaya manusia untuk meningkatkan nilai dan mutu peradabannya serta upaya mengatasi tantangan alam dan jaman, dinegeri ini terus menerus direduksi dan dibanalisasi. Kebudayaan makin dipinggirkan, disepelekan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebudayaan disederhana-
kan maknanya menjadi kesenian. Kesenian dimudahkan menjadi pertunjukan. Dan pertunjukan diidentikkan dengan hiburan.Pemeliharaan dan pengembangan
kebudayaan yang dimanatkan oleh ps.32 UUD, ternyata sejak 10 tahun y.l. diserahkan kepada otoritas yang bernama pariwisata. Menurut mereka, kesenian adalah bagian dari industri pariwisata dan bukan anak kandung kebudayaan. Oleh karenanya pengembangan dan pemeliharaan kesenian dengan mudah dicampuradukkan dengan bidang-bidang lain yang samasekali tidak berkait dan bertalian.Urusan kebudayaan yang mereka sebut dengan istilah seni budaya, diurus satu atap dan satu meja dengan pariwisata dan olahraga, bahkan perhubungan,komunikasi dan informasi.
Wacana mengenai Kelembagaan Kebudayaan dalam pemerintahan sebenarnya sudah muncul sejak awal kemerdekaan.Dalam Musyawarah Kebudayaan di Sukabumi 31 Desember 1945, sejumlah budayawan mengusulkan dibentuknya Kementerian Kebudayaan.Keinginan ini dilanjutkan lagi dalam Kongres Kebudayaan 1948 di Magelang. Karena usul tak kunjung dipenuhi,maka usul tersebut terus dikumandangkan dalam Kongres Kebudayaan tahun 1951,1954,1957,1991,2003 dan terakhir 2008. Namun yang terjadi justru penggabungan Kebudayaan dengan Pariwisata (1999, jaman Abdurahman Wahid). Para budayawan sudah menolak penggabungan tsb. Karena dinilai mengerdilkan arti dan peran kebudayaan.Penolakan para budayawan didasari alasan karena kebudayaan akan memiliki pengertian komersial. Padahal kebudayaan harus menjadi napas dari sistem pemerintahan yang demokratis untuk membangun karakter manusia Indonesia.
Bahkan setelah 64 tahun merdeka ternyata kita tidak pernah memiliki Strategi Kebudayaan. Strategi Kebudayaan tidak sekadar pengelolaan cara berfikir suatu bangsa, namun sekaligus cara bertindak dan bereaksi, yang menjadikan wacana politik mampu menjadi daya produktifitas sebuah bangsa. Kebudayaan selayaknya menjadi daya hidup dalam berbagai aspek berbangsa dan bernegara.Sebutlah misalnya aspek pengelolaan budaya kreatif yang meliputi pelbagai cabang kesenian,budaya sains dan teknologi,budaya baca,pendidikan budi pekerti (perilaku baik), dsb. yang diyakini mampu mendorong terciptanya nilai2 positif,nilai2 luhur di masyarakat ,sesuai dengan cita2 bangsa. Kita menjadi semakin sulit menemukan wajah budaya kita. Wajah kebudayaan yang mencerminkan kebinekaan,kemajemukan toleransi dan keluhuran budi pekerti. Sehari-hari kita kita disuguhi pertunjukan teater negeri dan tanah air yang primitif tidak bermutu dan memuakkan.Hiruk pikuk perpolitikan ditengah-tengah kemiskinan yang semakin menghimpit, perebutan kekuasaan, kekerasan dan penindasan. Sementara pelaksanaan hukum dan keadilan menjadi barang mahal. Hukum menjadi sangat kuat bagi orang lemah, dan sangat kemah menghadapi orang kuat. Korupsi ,watak culas dan ketidak jujuran,malas berfikir dan hanya mencari jalan pintas, kehilangan empati dan rasa kesetiakawanan, bukanlah wajah kita yang sesungguhnya.Fenomena semacam ini akibat dari tidak adanya landasan Kebudayaan dalam pengelolaan negara. Kebudayaan seharusnya menjadi landasan hidup dalam menangani pelbagai masalah bangsa. Sementara itu kesenian sebagai salah satu produk utama kebudayaan, diposisikan hanya sebagai alat atau sumber eksploitasi kepentingan ideologi, politik, atau industri.
Dewasa ini kebijakan pemerintah dibidang kebudayaan justru mendorong para seniman masuk kedalam sistem ekonomi yang disebut industri kreatif. Ada 14 bidang industri kreatif :1.Periklanan 2.Arsitektur 3.Pasar Seni & Barang Antik 4.Kerajinan 5.Disain 6.Disain Fesyen 7.Video,Film dan Fotografi 8.Permainan Interaktif 9.Musik 10.Seni Pertunjukan 11.Penerbitan dan Percetakan 12.Layanan Komputer dan Piranti Lunak 13.Televisi dan Radio 14.Riset dan Pengembangan.
Hal itu lebih mempertegas bahwa kebudayaan kita sudah masuk kedalam jebakan ekonomi dan kapitalisme. Inilah sebuah realita yang tak terhindarkan dimana industri telah menjadi bapak angkat kesenian.Dimana sebuah karya (seni) dimaknai sebagai produk (seni) dan nilai (seni) menjadi harga (seni). Para penikmat dan apresian seni ,semata2 dianggap sebagai pasar (market) seni. Yang terjadi kemudian adalah transasksi2 bisnis, yang semakin menjauhkan seni dari rumah kebudayaan. Kita tidak lagi bicara tentang kreatifitas, tetapi trend pasar. Novel harus jadi film. Teater harus jadi sinetron. Sajak harus jadi lirik lagu pop atau jingle iklan. Seni Sastra sebagai cabang kesenian yang sangat dekat dengan khalayak dan sudah berpuluh bahkan beratus tahun dapat dinikmati melalui buku-buku dan media masa pun sudah lama bermetamorfosa.Budaya baca berubah menjadi budaya tonton dan budaya dengar. Puisi tidak lagi menjadi bahan renungan dan dibaca dikamar sepi. Buku Kumpulan Puisi dan Antoloji Puisi menjadi semakin berdebu di rak perpustakaan maupun toko-toko buku. Puisi harus dikemas ulang setelah bertahun2 tampil sebagai seni deklamasi, seni baca puisi (poetry reading), musikalisasi puisi. Dan kini, dengan cara apa lagi kita harus mengemas puisi agar tidak ditinggalkan para pecintanya.
Sementara itu Kesenian akan terus hidup dan bergerak sesuai dengan kodrat dan dinamikanya. Dia tidak akan mati,hanya rehat sejenak untuk bermetamorfosa.Sastrawan hanya mengganti pena dan kertas dengan komputer sebagaimana para pujangga terdahulu mengganti daun lontar dengan kertas dan mesin cetak. Teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan industri media yang global dan kapitalis. Seniman dan pekerja seni bersaing dalam pasar bebas. Akibatnya terjadi adalah kesenjangan sosial ekonomis diantara para seniman. Semakin banyak seniman yang terjebak dalam dilema dengan pilihan2 yang semakin sempit. Berhenti berkarya atau meneruskan ”kesenimanannya” dengan segala resiko dan konsekwensinya. Agar bisa bertahan, banyak seniman yang menggeluti profesi lain sambil terus berkarya. Menjadi penyiar radio,wartawan,penulis naskah iklan, bahkan menjadi PNS, perangkat desa, karyawan swasta dsb. Namun produktifitas kreatif mereka sudah tentu terhambat. Sebagian lagi masih terus bertahan sebagai pekerja seni yang puritan dan gagah berani. Yang lebih menyedihkan, komunitas seniman dianggap sebagai komunitas marjinal, yang hanya membuat gaduh dan mengganggu stabilitas. Pertanyaannya : dimanakah posisi para seniman, dan masih adakah tempat yang nyaman bagi mereka ?
Dalam kondisi semacam itu seolah2 pemerintah telah berbuat sesuatu untuk kesenian dan para senimannya. Begitu juga dalam pelaksanaan otonomi daerah, dimana ps.22 (m) UU Otonomi Daerah No.32/2002 , dari 15 point kewajiban Pemerintah Daerah disebutkan a.l. bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban melestarikan nilai sosial budaya. Kewajiban yang sangat sederhana hanya 4 kata, namun implementasinya menjadi absurd, karena kata-kata dalam UU tersebut sulit dicerna dan dipahami oleh para pemegang dan pengambil keputusan di daerah. Dengan sekelumit alokasi APBD , maka dibentuklah Dewan Kesenian di daerah yang merupakan adopsi dari Dewan Kesenian DKI. Dengan langkah sederhana tersebut diharapkan kewajiban mulia untuk melestarikan nilai sosial budaya sudah terpenuhi. Padahal DK-DKI yang dibentuk jaman Ali Sadikin 4o tahun yl. sudah ketinggalan jaman, dan tidak lagi mampu mengakomodasi hasrat kesenian yang dinamis dan terus bergerak.Dewan Kesenian di daerah telah memunculkan birokrasi baru yang seringkali justru menimbulkan pelbagai friksi dikalangan seniman. Apalagi pertanggung jawaban pengurusnya hanya dari segi penggunaan anggaran, tanpa menyentuh seberapa besar pencapaian2 kultural dan prestasi artistik selama periode kepengurusannya. Oleh karena itu melalui wacana ini,diharapkan adanya kebijakan baru,visi baru, dalam menangani pengembangan kesenian di daerah. Bukan melalui kebijakan pembinaan, karena sejatinya kesenian adalah perilaku kreatif yang tumbuh dan berkembang secara alami di tengah-tengah masyarakat. Kreatifitas seni tidak bisa dibina, tetapi dirangsang melalui penyelenggaraan lomba,festival,diskusi, dan event2 kesenian yang rutin dan teragenda. Pemberian Anugerah Seni bagi seniman berprestasi adalah salah satu cara merangsang kreatifitas disamping memberikan penghargaan yang layak atas pengabdiannya.
Oleh karenanya pada hari ini, saat kita bisa berhimpun dalam komunitas kesenian yang solid dan penuh gairah ini, marilah kita terus pertanyakan : dimanakah posisi kita yang sebenarnya....adakah kehadiran kita masih diperlukan oleh bangsa dan tanah air ini ?
Kita menyandang tugas
Karena tugas adalah tugas
Bukannya demi sorga atau neraka
Tapi demi kehormatan seorang manusia
.....................
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
Bekerja membalik tanah
Memasuki rahasia langit dan samodra
Serta mencipta dan mengukir dunia
.......................
(WS.Rendra)
Slawi, 27 Desember 2009
Disampaikan dalam Gelar Budaya
Tutup Taun 2009/Mapag Taun 2010
Yang diselenggarakan oleh
Pesisir Foundation
di Lebaksiu Park
Slawi
.
Senin, 29 Juni 2009
Puisiku
Ritus Tenung
Ilalang melayang dalam lelap mimpi
berkelindan dalam gua gelap
Lalu lenyap senyap saat kelepak sayap
Kelelawar menjelma hantu penghisap
seringai taring menusuk
tengkuk, maka
menyingkirlah dari ritus tenung
dalam sebuah ajang pembantaian
Ajal hanya akan sia-sia
melambaikan jemari yang patah
keluh yang luruh dalam airmata
beku lalu mencair , maka
menyingkirlah dari percik darah
Mantra tenung, mantra tawar
Saling mematuk runcing paruh-paruhya
jarum berkarat dan rambut ijuk
menyangkut dilambung
nyawapun kejang meregang
(Wahai,perempuan pendendam
Kauambil segenggam tanah “penumpas”
Tanam atau taburkan empat penjuru,berkatalah
“tumpas,tumpas,tumpas”)
Dengan Selembar Karcis
Dengan selembar karcis kulewati pintu portir
Masuklah kedalam,katanya
kaulihat pertunjukan mimpimu
Akupun merenung dan bercermin berkali-kali
dari muka air sumur
yang memantulkan bayang kesia-siaan
Ketika usia lapuk
digerogoti kencingmanis asamurat bahkan stroke
Tidak mungkin lagi menghindar dan sembunyi
menutup mata dengan sepuluh jari
Dengan selembar karcis kulewati pintu portir
Katakan selamat tinggal, katanya
Akupun mengintip dari jeruji mimpi
Lihatlah duka dan kemiskinan telah kauwariskan
Kauhitung sendiri berapa banyak jejak
berserak – mengerak
menjadi jamur
ditimbunan sampah umur
Radangpun mengoyak
Saat sang waktu terus memburu
(Berapa lembar lagi karcis
yang masih terselip disaku celana
aku tidak berani menghitungnya)
(2009)
Minggu, 02 November 2008
Kongres IX Bahasa Indonesia
Kebanggaan pada bahasa Indonesia menurun.Padahal bahasa Indonesia adalah lambang jatidiri.Masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa asing dan bahasa daerah yang tidak pada tempatnya.Demikian sambutan Mendiknas Bambang Sudibyo pada pembukaan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta 28 Okt.-11 Nop ( Kompas, 29/10.).
Benarkah ? Ya terang aja, sebab menurut munsyi Remy Sylado(2003) 9 dari 10 kosakata Bahasa Indonesia adalah serapan dari bahasa asing.
Yang jelas,bahasa Indonesia terus berkembang. Ketika pertama terbit th.1953 Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) memuat 23.000 lema (entry).Tahun 1976 memuat 24.000 lema, tahun 1988 bertambah lagi menjadi 62.000 lema.KUBI terbaru memuat 250.000 lema dan jika ditambah 340.000 istilah pelbagai macam ilmu pengetahuan, maka jumlah lema menjadi 590.000.
Secara politis,bahasa Indonesia juga berkembang dari bahasa yang feodalistik menjadi bahasa yang demokratis,bahkan sekarang cenderung anarkis. Kita masih ingat Bung Karno dalam pidato pembelaan didepan pengadilan kolonial membahasakan dirinya dengan hamba. Bahkan sampai tahun 50-an para advokat didepan Pengadilan Negeri juga masih menggunakan kata hamba dan yang mulia. Kita juga masih menyebut paduka yang mulia kepada kepala negara. Dalam perkembangan selanjutnya kataganti orang pertama hamba resmi menjadi saya. Dan kataganti orang kedua menjadi saudara atau anda.Tapi anehnya, dewasa ini generasi muda lebih senang menggunakan kata aku daripada saya. Lihat saja ditayangan TV,semua artis dan selebritis , bahkan artis2 cilik pun senang sekali ber- aku ria..Mereka bilang mama aku, rumah aku,guru aku,temen aku…Barangkali mereka terinspirasi sajak Chairil Anwar, penyair Angkatan 45 yang vitalistis dan “anarkhis” : Aku ini binatang jalang…dari kumpulannya terbuang…***