Sabtu, 11 Juni 2011

Ki Gede Sebayu dalam Narasi yang Sepi

1.Romantisme,Kebanggaan dan Jatidiri.

Sejak ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Tegal 16 tahun yang lalu melalaui Perda Kab.Tegal no.13/95 dan dikukuhkan dengan SK Gubernur Jawa Tengah no.188.3/101/1996 masyarakat kabupaten Tegal sudah 17 kali menyelenggarakan acara dan upacara yang jatuh pada setiap tanggal 18 Mei.Peringatan serupa juga dilakukan oleh semua wilayah kabupaten/kota bahkan propinsi diseluruh In-donesia.Melalui peringatan semacam itu,diharapkan momentum hari jadi dapat dijadikan sarana sebagai upaya-upaya pembentukan jati diri dan kebanggaan daerah pada masyarakatnya.Kesepakatan yang bersifat politis melalui aspek sejarah dan budaya ini,biasanya menampilkan romantisme masa lalu melalui tokoh (lokal) yang berjasa dan dihormati. Tidak jarang dibumbui dengan menampilkan legenda dan cerita-cerita magis tokoh yang digdaya penuh kesaktian dalam epos-epos peperangan maupun perjuangan melawan musuh dan menegakkan keadilan.

Dalam sebuah diskusi tentang hari jadi sebuah kota beberapa tahun yang lalu terungkap adanya anggapan bahwa semakin tua sebuah wilayah semakin menambah wibawa dan kebesaran sang tokoh. Hal tersebut diharapkan akan berdampak semakin besarnya kebanggaan warga terhadap wilayahnya.

Kota Palembang terkesan sangat tua dan memiliki sejarah kebesaran masa silam , karena berdiri sejak tanggal 20 Juni 683 dan tahun ini merayakan ulang tahunnya yang ke 1328.

Kota Jakarta menetapkan hari jadinya pada tanggal 22 Juni 1527 dan tahun ini genap berusia 484 tahun.Tanggal tersebut ditetapkan sebagai pertanda kemenangan Fatahillah setelah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa,dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.Bagaimana kedahsyatan tokoh “super hero” ini bertempur melawan Portugis,hampir 5 abad yang lalu,sampai hari ini masih dapat disaksikan melalui tayangan film/tv. Kebesaran nama Fatahillah diabadikan pada beberapa bangunan dan kawasan di Jakarta.bahkan nama kapal perang Angkatan Laut RI.

Kota Cirebon tahun ini berulang tahun yang ke-642. Hari jadi kota Cirebon tidak menggunakan penanggalan Masehi,tetapi mengikuti penanggalan Hijriah, yakni setiap tanggal 1 Muharam (1 Syura). Pada tanggal 1 Muharam 791 H Syekh Datul Kahfi memerintahkan kepada muridnya,Pangeran Cakrabuana pendiri Kerajaan Pakungwati untuk membuka hutan di kawasan pesisir Cirebon untuk dijadikan pemukiman penduduk, yang kemudian menjadi Kasultanan Cirebon.Syekh Datul Kahfi adalah kakak dari ibu Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,salah satu dari Sembilan Wali penyebar agama Islam di tanah Jawa. Yang masih dikenang (dan kemudian dianut) warga masyarakat Cirebon sampai saat ini adalah Wasiat Sunan Gunung Jati dalam bahasa Cirebon “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”, yang artinya “Aku menitipkan surau dan fakir miskin”. Sebuah artikulasi yang sangat dalam maknanya dan masih relevan untuk dilaksanakan sampai saat ini.

2.Ki Gede Sebayu dalam narasi yang datar dan sepi.

Sebagai produk sejarah nama Ki Gede Sebayu tidak se”populer” Fatahillah atau Faletehan dan Sunan Gunung Jati.Dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Ki Gede Sebayu adalah putra Adipati Purbalingga (Pangeran Onje). Ia dikirim oleh ayahnya untuk mengabdi kepada Sultan Pajang Hadiwidjoyo (1549-1582) dan menjadi prajurit Kerajaan Pajang.Akibat "frustasi" menyaksikan kekacauan di Pajang yang disebabkan perebutan kekuasaan antar keluarga yang tidak kunjung reda,Ki Gede Sebayu melepas atribut kebangsawanan dan mengembara mencari hakekat hidup.Dengan diikuti oleh 40 pasangan keluarga,yaitu mereka yang terpilih memiliki berbagai ilmu dan ketrampilan, Ki Gede Sebayu melakukan misi perjalanan ke arah barat.Menurut kisah sampailah rombongan ini di tlatah Tegal, yang konon masih berupa lapangan luas (tegalan).Tujuan misi ini sangat mulia yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengembangkan agama Islam.Masing-masing anggauta rombongan,sesuai dengan keahliannya, dititipkan pada keluarga-keluarga sepanjang Kaligung, dan berakhir di Kalisoka (Kec.Dukuhwaru sekarang).Mereka kemudian menularkan keahliannya dibidang pertanian,pengairan,pertukangan,penenun kain,pandai besi,kemasan,dan guru-guru pengajar agama Islam.Bahkan Ki Gede Sebayu berhasil membangun sebuah masjid dan bendungan irigasi,yang sangat bermanfaat bagi para petani.Atas keberhasilan misi tersebut,maka pada pada hari Rabu Kliwon 12 Robiul’awal 1010 H, atau 18 Mei 1601 oleh Panembahan Senopati raja Mataram beliau dianugrahi gelar Juru Demung (Demang). Titi mangsa itulah yang kemudian dipakai untuk menandai Hari Jadi Kabupaten Tegal.Kisah yang sama juga digunakan oleh Pemerintah Kota Tegal untuk menandai Hari Jadinya ,namun jatuh pada tanggal 12 April 1580, atau 21 tahun lebih tua.

Narasi tokoh Ki Gede Sebayu dalam pengembaraan panjang dan melelahkan memang terasa datar dan sepi. Kita bisa membayangkan,bagaimana iring-iringan puluhan orang yang terdiri dari para prajurit,petani,tukang kayu,tukang besi,ulama,termasuk wanita dan ibu-ibu,berjalan melintasi lembah dan pegunungan,menyeberang sungai dan menyusuri pantai. selama berhari-hari.Dari kacamata literasi,ini adalah sebuah epos yang sangat spektakuler. Namun misi suci Ki Gede Sebayu yang sangat luar biasa tersebut seolah hanya peristiwa biasa.Padahal peristiwa tersebut dari aspek politik dan sosial budaya memiliki nilai yang sangat besar,yakni :

1.Menguatnya legitimasi kekuasaan Mataram di wilayah barat,terbukti kemudian dengan diangkatnya keturunan Ki Gede Sebayu menjadi Adipati di Tegal dan Brebes.
2.Terbangunnya pranata sosial dan kemakmuran melalui budaya bercocok tanam sebagai modal dasar ketahanan dan pertahanan suatu wilayah.Hal ini perlu dilakukan,karena waktu itu adalah awal masuknya kolonialisme Belanda (1601) yang diyakini akan menguasai dan menghancurkan kerajaan-kerajaan di tanah Jawa.

Sayangnya gagasan futuristik tersebut tidak sempat diartikulasikan dalam sebuah narasi besar yang akan dicacat oleh sejarah dan dikenang oleh generasi yang bakal datang.Ki Gede Sebayu tidak pernah mewariskan kredo seperti halnya Sunan Gunung Jati : Ingsun titip tajug lan fakir miskin. Atau Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada : Lamun huwus kalah Nusantara,isun amukti palapa….

3.Membangun karakter sambil membangkitkan imajinasi.

Dengan peringatan Hari Jadi Kabupaten Tegal yang diselenggarakan setiap tahun,diharapkan akan terbangun karakter warga yang memiliki ciri dan perilaku sebagaimana yang ingin diteladankan Ki Gede Sebayu.Untuk mengaktualisasikan dan mengomunikasikan teladan luhur tersebut kehadapan khalayak,bukan hal yang mudah,mengingat panjangnya rentang waktu masa silam.Imajinasi khalayak tentang Ki Gede Sebayu yang tidak ditopang oleh referensi dan korelasi profil yang stereotip,khas,dengan “his story” yang unik,dramatik apalagi heroik,kiranya sangat sulit untuk dimunculkan.Acara dan upacara setahun sekali yang lebih bersifat formal dan artifisial,pidato-pidato dan kirab pusaka serta tampilan para pejabat yang feodalistik aristokratif,semakin menjauhkan dengan misi budaya pertanian dan pedesaan ,yang masih tetap relevan dengan problem mayoritas masyarakat Kabupaten Tegal.Diperlukan gagasan yang cerdas untuk bisa sekadar menyentuhkan misi Ki Gede Sebayu 4 abad yang lalu.Sehingga nama Ki Gede Sebayu akan bisa terpateri dalam sanubari setiap warga Kabupaten Tegal. ***

(Disajikan pada Malam Renungan Peringatan Hari Jadi
Kabupaten Tegal Ke-410 yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi IdeA,
Senin 30 Mei 2011 di Gedung Kesenian Slawi)