Minggu, 02 November 2008

Kongres IX Bahasa Indonesia

hamba feodalis – saya demokratis – aku anarkhis.

Kebanggaan pada bahasa Indonesia menurun.Padahal bahasa Indonesia adalah lambang jatidiri.Masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa asing dan bahasa daerah yang tidak pada tempatnya.Demikian sambutan Mendiknas Bambang Sudibyo pada pembukaan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta 28 Okt.-11 Nop ( Kompas, 29/10.).
Benarkah ? Ya terang aja, sebab menurut munsyi Remy Sylado(2003) 9 dari 10 kosakata Bahasa Indonesia adalah serapan dari bahasa asing.
Yang jelas,bahasa Indonesia terus berkembang. Ketika pertama terbit th.1953 Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) memuat 23.000 lema (entry).Tahun 1976 memuat 24.000 lema, tahun 1988 bertambah lagi menjadi 62.000 lema.KUBI terbaru memuat 250.000 lema dan jika ditambah 340.000 istilah pelbagai macam ilmu pengetahuan, maka jumlah lema menjadi 590.000.
Secara politis,bahasa Indonesia juga berkembang dari bahasa yang feodalistik menjadi bahasa yang demokratis,bahkan sekarang cenderung anarkis. Kita masih ingat Bung Karno dalam pidato pembelaan didepan pengadilan kolonial membahasakan dirinya dengan hamba. Bahkan sampai tahun 50-an para advokat didepan Pengadilan Negeri juga masih menggunakan kata hamba dan yang mulia. Kita juga masih menyebut paduka yang mulia kepada kepala negara. Dalam perkembangan selanjutnya kataganti orang pertama hamba resmi menjadi saya. Dan kataganti orang kedua menjadi saudara atau anda.Tapi anehnya, dewasa ini generasi muda lebih senang menggunakan kata aku daripada saya. Lihat saja ditayangan TV,semua artis dan selebritis , bahkan artis2 cilik pun senang sekali ber- aku ria..Mereka bilang mama aku, rumah aku,guru aku,temen aku…Barangkali mereka terinspirasi sajak Chairil Anwar, penyair Angkatan 45 yang vitalistis dan “anarkhis” : Aku ini binatang jalang…dari kumpulannya terbuang…***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar