Senin, 31 Januari 2011

Dari Slawi Membangun Mimpi

Saya pernah ditanya seseorang,apakah saya orang Tegal atau orang Kabupaten.Mendapat pertanyaan yang tidak terduga seperti itu,saya tidak segera menjawab.Ketika saya jelaskan bahwa saya tinggal di Adiwerna,orang tersebut bilang bahwa saya orang Kabupaten.Sedangkan dia mengaku sebagai orang Tegal,karena rumahnya di desa Debong Lor.Saya baru menyadari ternyata ada orang Tegal dan ada orang Kabupaten Tegal yang bukan orang Tegal.Bingung kan?

Beberapa waktu yang lalu,ketika Limbad dinobatkan sebagai The Master Megician keponakan saya yang tinggal di Jakarta kirim SMS “wah,hebat ya pakde,orang Tegal bisa jadi The Master…”.Teringat kasus Adiwerna-Debong Lor yang saya ceritakan diatas, saya mencoba meluruskan keponakan saya,dan menjawab SMS-nya “Gus,Limbad bukan orang Tegal,tapi orang Kabupaten”. SMS saya ternyata tidak dijawab lagi.Saya pikir keponakan saya sudah bisa memahami perbedaan orang Tegal dan orang Kabupaten.Atau dia malah bingung ?

Saya sengaja mengangkat kasus yang tidak lucu ini untuk membuka wacana,, bahwa ada kerancuan makna dan miskomunikasi setiap kita menyebut Kabupaten Tegal. Miskomunikasi ini,setidaknya berpengaruh kepada citra Kabupaten Tegal yang yang ingin kita bangun.Karena kata Tegal, tidak secara otomatis mengandung makna Kabupaten TegalTegal lebih diartikan sebagai Kota Tegal. Tegal secara mutlak telah diklaim menjadi Kota Tegal.Akibatnya Kabupaten Tegal,meskipun mengandung kata Tegal,tetapi menjadi bukan Tegal. Kabupaten Tegal,adalah abstrak.

Wacana yang bikin bingung dan rancu ini sesungguhnya berawal dari terbitnya UU No.13 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Kabupaten dan Kodya di Jawa Tengah. Berdasarkan UU ini,maka sejak tahun 1950 wilayah Tegal dibagi menjadi 2 daerah pemerintahan, yaitu Dati II Kabupaten Tegal dan Dati II Kodya Tegal (sekarang Kabupaten Tegal dan Kota Tegal).Kemudian terbit pula PP No.2 tahun 1984 yang mengatur tentang pemindahan ibukota Kabupaten dari Tegal ke Slawi.

Yang lebih rancu lagi kata kabupaten sering disandingkan (atau dilawankan) dengan kata kota, disambung dengan garis miring menjadi kabupaten/kota.Bahkan dalam UU Otonomi Daerah (No.32/2004),sejak pasal 4 dan seterusnya di banyak sekali pasal-pasal yang menerangkan tentang kabupaten/kota.

Andaikata saya boleh bermimpi apa saja tentang Kabupaten Tegal,maka impian saya yang pertama adalah merubah bunyi UU No.13 tahun 1950, agar nama Dati II Tegal diubah menjadi Dati II Slawi. Sehingga sekarang menjadi Kabupaten Slawi. Bukankah sangat tepat kalau kota Slawi menjadi ibukota Kabupaten Slawi?. Sehingga tidak ada lagi dualisme dan dikotomi Tegal yang membingungkan itu. Sayangnya mimpi saya yang satu ini mustahil bisa menjadi kenyataan.Atau malah saya yang dianggap ngayawara (aneh).

Dalam kehidupan modern, kota dicitrakan sebagai barometer kemajuan,gaya hidup , bahkan arsitektur dan tata ruang.Selalu terang benderang dan berkilau. Itu sebabnya slogan Kota Tegal “Keminclong Moncer Kotane”. Pas banget. Sementara kabupaten, karena memiliki pengertian yang komplek,dan sulit digambarkan secara fisik, sering diasosiasikan dengan wilayah yang luas,sebagian besar pedesaan,sawah atau pantai yang gersang.Gambaran lain tentang kabupaten adalah ibu kotanya yang tidak terkenal,kecil,sepi,minim sarana,banyak bangunan baru tapi tidak berkualitas dan sebagainya. Tidak heran kalau kita mengalami kesulitan dalam mendeskripsikan kabupaten Tegal dalam sebuah kalimat yang mentereng dan ekspresif sehingga bisa menjadi slogan. Slogan ‘Kabupaten Tegal sing Ngangeni lan Mbetahi’ menurut saya samasekali tidak ekspresif dan imajinatif. Bahkan menjadi narasi pasif yang dari segi promosi tidak marketable.Dualisme dan dikotomi ini telah melahirkan stigma yang yang buruk bagi kabupaten Tegal..Beberapa contoh ibukota kabupaten lain yang bernasib sama dapat disebutkan antara lain Kajen (Kab.Pekalongan),Ungaran (Kab. Semarang),Mungkid (Kab.n Magelang) dan Sumber (Kab.Cirebon).Kota-kota tersebut barangkali tidak jauh kondisinya dengan Slawi. Sama-sama kurang dikenal dan sama-sama sibuk membenahi dirinya. Mengapa demikian? Karena semua ibukota kabupaten sebelumnya adalah kota kecamatan atau kawedanan yang dikembangkan dengan membangun sarana dan prasarana yang memadai. Sementara itu ibukota kabupaten lama yang sudah mapan selama puluhan tahun harus ditinggalkan dan diwariskan kepada pemerintah kota yang baru. Selama 25 tahun kota Slawi dengan tertatih-tatih harus berbenah untuk menampilkan wajah yang representatif sebagai ibukota sebuah wilayah yang sangat luas dan potensial : 87.879 Ha,18 kecamatan,272 desa dan 6 kelurahan, dengan jumlah penduduk 1,5 juta.

Berangkat dari kota Slawi yang menanggung beban sejarah itu, saya ingin merajut mimpi-mimpi saya tentang Kabupaten Tegal. Dalam pandangan saya Slawi seharusnya menjadi pusat pertumbuhan dan episentrum gerakan dalam memajukan kabupaten.Oleh karenanya Slawi harus diangkat pamornya,agar bebas dari sindrom “ibukota kabupaten yang tidak terkenal”,seperti halnya Kajen,Mungkid atau Sumber. Intinya Slawi harus dikenal dan kemudian jadi terkenal.Dalam era informasi dan komunikasi kita bisa menyusun kampanye pencitraan tentang kota Slawi.Kalau teh Sosro bisa terkenal,mengapa Slawi tidak?.Padahal nama Slawi dicantumkan dalam setiap kemasan teh Sosro.Andai saja Ki Enthus Susmono mau merubah label sebagai “Dalang saka Slawi” (Bukan Dalang saka Tegal,seperti yang tertera dikaca mobilnya).Andai saja Slamet Gundono saat berkeliling di manca negara mengatakan bahwa ia bukan dari Tegal,tapi dari Slawi.Andai sajaMaster Limbad mau mencantumkan label di jas hitamnya “Mr.Limbad Slawi...” dan masih banyak lagi trick kampanye media yang bisa dilakukan. Sementara itu Pemerintah Kabupaten harus segera merampungkan proyek Bunderan Slawi, Mesjid Agung , Gedung Perpustakaan dan Jalingkos. Sehingga setiap orang yang melintasi jalur selatan akan memperoleh kesan positif setelah meliht penanda kota (land mark) Slawi,yang konon mereplika land mark Bumi Sepong damai.

Mari kita bermimpi tentang Slawi terlebih dahulu,sebelum bermimpi panjang tentang Kabupaten Tegal. Karena mimpi tentang Slawi juga mimpi tentang Kabupaten Tegal.Slawi tidak harus dibangun dengan mendirikan hotel berbintang, mall ,supermarket dan restoran mewah. Slawi tidak mungkin menjadi kota niaga.Tidak perlu ada bank-bank besar. Tetapi Slawi harus punya Taman Budaya,bukan sekadar Gedung Kesenian.Saya tahu di Slawi dan sekitarnya banyak bermukim seniman dan seniwati,dalang,teater,musik,sastra,tari senirupa, bahkan pekerja film dan sinetron. Berikan kepada mereka ruang dan kesempatan untuk mengekpresikan dan mengeksplor kemampuan mereka.Tingkatkan anggaran untuk seni dan budaya.Berikan anugerah dan penghargaan tahunan untuk mereka yang telah mengukir prestasi dan mengabdikan diri untuk pengembangan dan pelestarian seni budaya.Hanya dengan insentif seperti itu Pemerintah Kabupaten dapat melahirkan seniman-seniman besar. Bukan sekedar anggaran ala kadarnya untuk Dewan Kesenian yang untuk menopang kegiatan rutin saja tidak pernah cukup.Festival,diskusi,seminar,workshop dan kegiatan penunjang kesenian lainnya,harus sering,rutin dan teragenda. Kegiatan simultan semacam ini saya yakin akan menumbuhkan apa yang sedang menjadi tren, yakni industri kreatif dalam sektor budaya dan pariwisata.Menurut hemat saya berkembangnya Slawi sebagai kota budaya,sangat paralel denganVisi-Misi Kabupaten Tegal 2009-2014 poin 2d.yakni stimulasi aktifitas produksi dan inovasi dalam berbagai bidang (ekonomi,budaya,seni),yang dapat berfungsi sebagai sektor non formal jejaring sosial. Barangkali itulah sosok kota Slawi yang tidak saja bersih ,rapi,tidak pengap,tidak hiruk pikuk,tidak macet, tetapi memiliki spirit dan karakter masyarakat Tegal yang khas dan spesifik.Masyarakat yang yang kreatif dan terbuka.

Satu lagi impian saya sudah tentu menyangkut segera direalisasikannya pendirian Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL),baik radio maupun televisi.Mekipun wacana tentang LPPL ini sudah lama sakali digulirkan,tetapi masih belum direspon oleh pihak-pihak terkait.Padahal ini menyangkut pelaksanaan UU Penyiaran No.32/2002 dan PP 11/2005.Berdasarkan UU dan PP tersebut,intinya Pemerintah Daerah tidak lagi diperbolehkan memiliki lembaga penyiaran.Malahan RRI dan TVRI pun sudah lama berubah statusnya menjadi lembaga penyiaran publik nasional.Saat ini keberadaan RSPD (Pertiwi FM) sudah tidak lagi sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang ada.Seharusnya DPRD Kabupaten Tegal segera memproses pendirian Radio Publik Lokal, dengan merubah status RSPD (Pertiwi FM), menjadi LPPL.Dengan demikian,maka masyarakat (publik) akan mempunyai media penyiaran sendiri yang independen dan bukan semata-mata menjadi corong pemerintah (daerah). Bahkan idealnya, masyarakat Kabupaten Tegal (sudah tentu difasilitasi Pemerintah Kabupaten dan DPRD Kabupaten) juga memiliki siaran televisi sendiri.Dengan wilayah yang sangat luas dan jumlah penduduk yang besar, saya yakin melalui LPPL radio maupun televisi (Slawi FM dan TV Slawi) masyarakat Kabupaten Tegal akan lebih mantap mengekspresikan budaya dan kearifan lokal, serta memiliki kebanggaan dan jati diri.Dan sudah pasti akan mampu mendongkrak citra dan pamor kota Slawi.

Demikian mimpi sederhana saya tentang Kabupaten Tegal.Bagi seorang praktisi media penyiaran yang sudah jatuh cinta dengan kabupaten Tegal selama 25 tahun,saya yakin mimpi saya bukanlah angan-angan kosong.Saya juga meyakini kemampuan SDM di Kabupaten Tegal mampu mewujudkan impian ini.Dengan catatan seluruh komponen pemerintah Kabupaten Tegal memiliki komitmen yang tinggi untuk bergotong royong mengabdi dan melayani masyarakat dengan ikhlas, sesuai dengan visi dan misi Kabupaten Tegal 2009-20014.

(Naskah ini dimuat dalam buku Kabupaten Tegal,
Mimpi,Perspektif dan Harapan,diterbitkan oleh
Bag.Humas Setda Kabupaten Tegal 2010)


****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar