Sabtu, 30 Juli 2011

Merawat Bahasa dan Budaya Tegal

I.Pendahuluan.

Wacana bahasa Tegal selalu diwarnai dengan perdebatan panjang tentang “bahasa atau dialek,kasar dan halus,tinggi dan rendah,pinggiran dan adiluhung”. Oleh karena itu sebaiknya kita sepakat menggunakan terminologi Unesco yang telah mencanangkan Hari Bahasa Ibu Internasional setiap tanggal 21 Pebruari,yaitu bahasa Tegal sebagai bahasa ibu.Sehingga kita tidak terjebak dalam sekat-sekat politik kebahasaan yang melahirkan istilah bahasa Jawa baku dan bahasa daerah dengan menafikan karakter lokal.

II. Bahasa Tegal.

Bahasa Tegal adalah alat tutur dan sarana komunikasi yang berakar dari entitas masyarakat Kabupaten/Kota Tegal serta sebagian masyarakat Kab.Brebes dan Pemalang. Bahasa ini hidup dan berkembang selama berabad-abad sebagai turunan dari bahasa Jawa Kuno,sebagaimana bahasa-bahasa Jawa yang lain, yang berada di wilayah Jogyakarta, Surakar-ta,Semarang,Kedu Rembang, Surabaya, Malang, Banyumas, Cirebon dan Banten (Poerwadarminta 1953/Uhlenbeck
1964).Bahasa-bahasa tersebut memiliki derajat kerumitan dan keunikan masing-masing.Halus dan kasar sebuah bahasa sebenarnya tergantung siapa penuturnya dan dalam kontek atau suasana apa si penutur berkomunikasi.
Bahasa Tegal yang jauh dari pusat pemerintahan dan pusat budaya (baca kraton) yang berkembang pesat sejak awal abad 17, tumbuh tanpa pengaruh feodalisme dan strata sosial, sehingga tidak mengenal kromo inggil. Bahasa Tegal memiliki kaidah-kaidah tersendiri untuk menghormati lawan bicaranya.Bahasa Tegal juga mengenal ungkapan-ungkapan honorifik. Ia menjadi bahasa yang egaliter dan lebih demokratis.Dari segi unggah-ungguh dan tatakrama berbahasa,hal ini sering disalah artikan sebagai rendah dan kasar.


III. Budaya Tegal.

Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa (etnis) berkembang menjadi ratusan sub-etnis yang memiliki budaya dan tradisi masing-masing. Budaya dan tradisi itulah yang kita sebut budaya lokal. Dalam budaya lokal terkandung nilai-nilai, gagasan dan perilaku yang pas, sesuai dan berguna bagi kehidupan masyarakatnya.Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat di tempat lain. Inilah yang kemudian kita kenal sebagai kearifan lokal.
Kearifan lokal dalam budaya Tegal sesungguhnya dapat ditelusuri melalui pelbagai kajian misalnya bahasa, kesenian tradisional, peninggalan sejarah (situs),cerita rakyat, tatacara dan upacara,bahkan makanan dan busana.. Masih banyak kearifan lokal lainnya yang perlu diadakan kajian dan inventarisasi guna menemukan nilai-nilai luhur dan filosofi yang terkandung di dalamnya.
Sayangnya jarang sekali bahkan tidak ada kepustakaan yang bisa dijadikan rujukan mengingat selama ini budaya Tegal tidak memiliki tradisi literasi.Bahkan tradisi lisan-pun sudah sangat sulit kita temukan,mengingat para pelakunya tidak pernah mewariskan kepada generasi penerusnya.

IV.Karakter .

Karakter,watak,tabiat,akhlak dan kepribadian terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang dijadikan landasan dan visi dalam melakukan tindakan.Kita sangat sulit menemukan karakter spesifik yang dapat dijadikan jatidiri masyarakat Tegal.Korelasi bahasa dan budaya Tegal sedikit sekali dapat menyimpulkan karakter yang determinan.Sistem a-feodal dan tidak adanya strata bahasa krama inggil dalam bahasa Tegal tidak serta merta mendeterminasi masyarakat Tegal memiliki pandangan positif yang demokratis dan egaliter.Bisa saja kesetaraan mengundang keberanian untuk asal melawan dan anarkis.Kisah-kisah pembrontakan Brandal Mas Cilik,pembangkangan petani dan pemogokan buruh pabrik gula,peristiwa Tiga Daerah yang melibatkan masyarakat Tegal secara massif,tidak serta merta menganggap masyarakat Tegal memiliki jiwa pembrontak.

Tetapi bahwa masyarakat Tegal kontemporer pasca kolonialisme memiliki semangat hidup (elan vital)yang tinggi,dan pekerja keras yang kaya kreatifitas nampak dari fenomena warteg,martabak lebaksiu, dan industri logam yang pernah mendapat julukan “jepangnya Indonesia” Adapun nilai-nilai positif lain yang tercermin dalam karakter kejujuran,hemat,hormat,disiplin, dsb.kiranya masih harus ditegaskan.

V.Upaya Merawat Bahasa dan Budaya Tegal

Gelombang globalisasi dan modernisasi yang ditopang sistem liberal dan kemajuan teknologi informasi,dalam dua dasawarsa terakhir tanpa kita sadari telah menjebol benteng-benteng budaya kita. Nilai-nilai tradisi, kearifan lokal dan karakter bangsa telah mengalami erosi. Bahasa dan Budaya Tegal tidak saja telah direduksi,tetapi telah dtinggalkan oleh masyarakatnya,terutama generasi muda.Sementara upaya-upaya represif dan preventif tidak pernah kita lakukan,baik secara struktural melalui pendidikan maupun swadaya masyarakat.Rekomendasi Kongres Bahasa Tegal I th.2006 yang mendorong Pemerintah Kota Tegal untuk memuliakan dan membudayakan Bahasa Tegal melalui strategi kurikuler, seolah dianggap angin lalu yang lewat begitu saja. Kitapun seolah lupa amanat konstitusi yang mengharuskan Negara memajukan Kebudayaan Nasional.dengan menghormati dan memelihara bahasa daerah.

VI.Penutup

Punahnya bahasa Tegal,sebagaimana ribuan bahasa ibu lainnya seluruh dunia,adalah sebuah keniscayaan.Kehilangan bahasa ibu adalah juga kehilangan budaya. Tetapi setidaknya hari ini masih ada waktu untuk menundanya.Mari.***

(Penulis adalah Pemerhati Budaya Lokal
dan Penyusun Kamus Bahasa Tegal
Naskah ini disampaikan dalam Sarasehan Budaya Tegal Yang Berkakarter
Yang diselenggarakan Ikatan Beswan Jarum DSO Pekalongan
Tanggal 25 Juli 2011 di Auditorium UPS Tegal)