Jumat, 25 Desember 2009

Seniman dan Banalisasi Kebudayaan

Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Kebranian menjadi cakrawala
Dan perjuangan
Adalah pelaksanaan kata-kata
……………………
Inilah sajakku,pamflet masa darurat
Apakah artinya kesenian,bila terpisah dari derita lingkungan
Apakah artinya perpikir,bila terpisah dari masalah kehidupan
……………………

( WS Rendra)


Banalisasi atau pendangkalan makna sedang melanda Kebudayaan kita.
Makna Kebudayaan sebagai upaya manusia untuk meningkatkan nilai dan mutu peradabannya serta upaya mengatasi tantangan alam dan jaman, dinegeri ini terus menerus direduksi dan dibanalisasi. Kebudayaan makin dipinggirkan, disepelekan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebudayaan disederhana-
kan maknanya menjadi kesenian. Kesenian dimudahkan menjadi pertunjukan. Dan pertunjukan diidentikkan dengan hiburan.Pemeliharaan dan pengembangan
kebudayaan yang dimanatkan oleh ps.32 UUD, ternyata sejak 10 tahun y.l. diserahkan kepada otoritas yang bernama pariwisata. Menurut mereka, kesenian adalah bagian dari industri pariwisata dan bukan anak kandung kebudayaan. Oleh karenanya pengembangan dan pemeliharaan kesenian dengan mudah dicampuradukkan dengan bidang-bidang lain yang samasekali tidak berkait dan bertalian.Urusan kebudayaan yang mereka sebut dengan istilah seni budaya, diurus satu atap dan satu meja dengan pariwisata dan olahraga, bahkan perhubungan,komunikasi dan informasi.

Wacana mengenai Kelembagaan Kebudayaan dalam pemerintahan sebenarnya sudah muncul sejak awal kemerdekaan.Dalam Musyawarah Kebudayaan di Sukabumi 31 Desember 1945, sejumlah budayawan mengusulkan dibentuknya Kementerian Kebudayaan.Keinginan ini dilanjutkan lagi dalam Kongres Kebudayaan 1948 di Magelang. Karena usul tak kunjung dipenuhi,maka usul tersebut terus dikumandangkan dalam Kongres Kebudayaan tahun 1951,1954,1957,1991,2003 dan terakhir 2008. Namun yang terjadi justru penggabungan Kebudayaan dengan Pariwisata (1999, jaman Abdurahman Wahid). Para budayawan sudah menolak penggabungan tsb. Karena dinilai mengerdilkan arti dan peran kebudayaan.Penolakan para budayawan didasari alasan karena kebudayaan akan memiliki pengertian komersial. Padahal kebudayaan harus menjadi napas dari sistem pemerintahan yang demokratis untuk membangun karakter manusia Indonesia.

Bahkan setelah 64 tahun merdeka ternyata kita tidak pernah memiliki Strategi Kebudayaan. Strategi Kebudayaan tidak sekadar pengelolaan cara berfikir suatu bangsa, namun sekaligus cara bertindak dan bereaksi, yang menjadikan wacana politik mampu menjadi daya produktifitas sebuah bangsa. Kebudayaan selayaknya menjadi daya hidup dalam berbagai aspek berbangsa dan bernegara.Sebutlah misalnya aspek pengelolaan budaya kreatif yang meliputi pelbagai cabang kesenian,budaya sains dan teknologi,budaya baca,pendidikan budi pekerti (perilaku baik), dsb. yang diyakini mampu mendorong terciptanya nilai2 positif,nilai2 luhur di masyarakat ,sesuai dengan cita2 bangsa. Kita menjadi semakin sulit menemukan wajah budaya kita. Wajah kebudayaan yang mencerminkan kebinekaan,kemajemukan toleransi dan keluhuran budi pekerti. Sehari-hari kita kita disuguhi pertunjukan teater negeri dan tanah air yang primitif tidak bermutu dan memuakkan.Hiruk pikuk perpolitikan ditengah-tengah kemiskinan yang semakin menghimpit, perebutan kekuasaan, kekerasan dan penindasan. Sementara pelaksanaan hukum dan keadilan menjadi barang mahal. Hukum menjadi sangat kuat bagi orang lemah, dan sangat kemah menghadapi orang kuat. Korupsi ,watak culas dan ketidak jujuran,malas berfikir dan hanya mencari jalan pintas, kehilangan empati dan rasa kesetiakawanan, bukanlah wajah kita yang sesungguhnya.Fenomena semacam ini akibat dari tidak adanya landasan Kebudayaan dalam pengelolaan negara. Kebudayaan seharusnya menjadi landasan hidup dalam menangani pelbagai masalah bangsa. Sementara itu kesenian sebagai salah satu produk utama kebudayaan, diposisikan hanya sebagai alat atau sumber eksploitasi kepentingan ideologi, politik, atau industri.

Dewasa ini kebijakan pemerintah dibidang kebudayaan justru mendorong para seniman masuk kedalam sistem ekonomi yang disebut industri kreatif. Ada 14 bidang industri kreatif :1.Periklanan 2.Arsitektur 3.Pasar Seni & Barang Antik 4.Kerajinan 5.Disain 6.Disain Fesyen 7.Video,Film dan Fotografi 8.Permainan Interaktif 9.Musik 10.Seni Pertunjukan 11.Penerbitan dan Percetakan 12.Layanan Komputer dan Piranti Lunak 13.Televisi dan Radio 14.Riset dan Pengembangan.

Hal itu lebih mempertegas bahwa kebudayaan kita sudah masuk kedalam jebakan ekonomi dan kapitalisme. Inilah sebuah realita yang tak terhindarkan dimana industri telah menjadi bapak angkat kesenian.Dimana sebuah karya (seni) dimaknai sebagai produk (seni) dan nilai (seni) menjadi harga (seni). Para penikmat dan apresian seni ,semata2 dianggap sebagai pasar (market) seni. Yang terjadi kemudian adalah transasksi2 bisnis, yang semakin menjauhkan seni dari rumah kebudayaan. Kita tidak lagi bicara tentang kreatifitas, tetapi trend pasar. Novel harus jadi film. Teater harus jadi sinetron. Sajak harus jadi lirik lagu pop atau jingle iklan. Seni Sastra sebagai cabang kesenian yang sangat dekat dengan khalayak dan sudah berpuluh bahkan beratus tahun dapat dinikmati melalui buku-buku dan media masa pun sudah lama bermetamorfosa.Budaya baca berubah menjadi budaya tonton dan budaya dengar. Puisi tidak lagi menjadi bahan renungan dan dibaca dikamar sepi. Buku Kumpulan Puisi dan Antoloji Puisi menjadi semakin berdebu di rak perpustakaan maupun toko-toko buku. Puisi harus dikemas ulang setelah bertahun2 tampil sebagai seni deklamasi, seni baca puisi (poetry reading), musikalisasi puisi. Dan kini, dengan cara apa lagi kita harus mengemas puisi agar tidak ditinggalkan para pecintanya.

Sementara itu Kesenian akan terus hidup dan bergerak sesuai dengan kodrat dan dinamikanya. Dia tidak akan mati,hanya rehat sejenak untuk bermetamorfosa.Sastrawan hanya mengganti pena dan kertas dengan komputer sebagaimana para pujangga terdahulu mengganti daun lontar dengan kertas dan mesin cetak. Teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan industri media yang global dan kapitalis. Seniman dan pekerja seni bersaing dalam pasar bebas. Akibatnya terjadi adalah kesenjangan sosial ekonomis diantara para seniman. Semakin banyak seniman yang terjebak dalam dilema dengan pilihan2 yang semakin sempit. Berhenti berkarya atau meneruskan ”kesenimanannya” dengan segala resiko dan konsekwensinya. Agar bisa bertahan, banyak seniman yang menggeluti profesi lain sambil terus berkarya. Menjadi penyiar radio,wartawan,penulis naskah iklan, bahkan menjadi PNS, perangkat desa, karyawan swasta dsb. Namun produktifitas kreatif mereka sudah tentu terhambat. Sebagian lagi masih terus bertahan sebagai pekerja seni yang puritan dan gagah berani. Yang lebih menyedihkan, komunitas seniman dianggap sebagai komunitas marjinal, yang hanya membuat gaduh dan mengganggu stabilitas. Pertanyaannya : dimanakah posisi para seniman, dan masih adakah tempat yang nyaman bagi mereka ?

Dalam kondisi semacam itu seolah2 pemerintah telah berbuat sesuatu untuk kesenian dan para senimannya. Begitu juga dalam pelaksanaan otonomi daerah, dimana ps.22 (m) UU Otonomi Daerah No.32/2002 , dari 15 point kewajiban Pemerintah Daerah disebutkan a.l. bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban melestarikan nilai sosial budaya. Kewajiban yang sangat sederhana hanya 4 kata, namun implementasinya menjadi absurd, karena kata-kata dalam UU tersebut sulit dicerna dan dipahami oleh para pemegang dan pengambil keputusan di daerah. Dengan sekelumit alokasi APBD , maka dibentuklah Dewan Kesenian di daerah yang merupakan adopsi dari Dewan Kesenian DKI. Dengan langkah sederhana tersebut diharapkan kewajiban mulia untuk melestarikan nilai sosial budaya sudah terpenuhi. Padahal DK-DKI yang dibentuk jaman Ali Sadikin 4o tahun yl. sudah ketinggalan jaman, dan tidak lagi mampu mengakomodasi hasrat kesenian yang dinamis dan terus bergerak.Dewan Kesenian di daerah telah memunculkan birokrasi baru yang seringkali justru menimbulkan pelbagai friksi dikalangan seniman. Apalagi pertanggung jawaban pengurusnya hanya dari segi penggunaan anggaran, tanpa menyentuh seberapa besar pencapaian2 kultural dan prestasi artistik selama periode kepengurusannya. Oleh karena itu melalui wacana ini,diharapkan adanya kebijakan baru,visi baru, dalam menangani pengembangan kesenian di daerah. Bukan melalui kebijakan pembinaan, karena sejatinya kesenian adalah perilaku kreatif yang tumbuh dan berkembang secara alami di tengah-tengah masyarakat. Kreatifitas seni tidak bisa dibina, tetapi dirangsang melalui penyelenggaraan lomba,festival,diskusi, dan event2 kesenian yang rutin dan teragenda. Pemberian Anugerah Seni bagi seniman berprestasi adalah salah satu cara merangsang kreatifitas disamping memberikan penghargaan yang layak atas pengabdiannya.

Oleh karenanya pada hari ini, saat kita bisa berhimpun dalam komunitas kesenian yang solid dan penuh gairah ini, marilah kita terus pertanyakan : dimanakah posisi kita yang sebenarnya....adakah kehadiran kita masih diperlukan oleh bangsa dan tanah air ini ?


Kita menyandang tugas
Karena tugas adalah tugas
Bukannya demi sorga atau neraka
Tapi demi kehormatan seorang manusia
.....................
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
Bekerja membalik tanah
Memasuki rahasia langit dan samodra
Serta mencipta dan mengukir dunia
.......................
(WS.Rendra)



Slawi, 27 Desember 2009
Disampaikan dalam Gelar Budaya
Tutup Taun 2009/Mapag Taun 2010
Yang diselenggarakan oleh
Pesisir Foundation
di Lebaksiu Park
Slawi





.

Kamis, 10 Desember 2009

Simbolisasi dan Perlawanan

Kita tidak saja gemar dengan simbolisasi, tetapi juga piawai untuk mengkreasi aneka simbol perlawanan. Simbol perlawanan kerap digunakan untuk mengekspresikan hasrat melawan terhadap sebuah ”rezim yang salah”. Cicak vs.buaya dan koin untuk Prita, adalah fenomena simbolisasi yang cerdas, unik,tidak terduga dan menggetarkan. Sebuah simbol harus mampu mengkomunisasikan sebuah gagasan secara utuh dan cepat direspon publik. Fitnah , kriminalisasi, kebobrokan penegak hukum, ketidakadilan bagi orang-orang lemah, ternyata bisa dilawan dengan jitu lewat simbolisasi.
. Simbolisasi,metafora,sindiran, plesetan dan sejenisnya masih ampuh sebagai sarana kritik dan perlawanan. Melalui jejaring sosial Facebook dan blow up televisi, maka simbolisasi perlawanan akan cepat menyebar secara masif dan magis...(?) Sayangnya untuk gerakan anti korupsi kita belum bisa menciptakan simbolisasi perlawanan yang pas dan jitu....Sebuah tantangan untuk para ”kreator kata-kata” dan penggemar dunia maya.....!!!