Selasa, 25 November 2008

KPI Hanya Memantau TV - Tidak Sanggup Memantau Radio

Di Balik “Otot” Komisi Penyiaran

Dua tahun terakhir KPI Pusat sudah melayangkan 80 surat teguran kepada pengelola siaran televisi yang melanggar aturan.Setelah menegur, lalu apa? Dengan hanya menegur saja sebenarnya KPI sudah lumayan ber”otot”.Penelola televisi sudah sering kebakaran jenggot,apalagi kalau teguran itu ditembuskan ke sejumlah media masa. Maklumlah KPI memang menjadi satu-satunya “polisi” penyiaran di Indonesia. Wewenang KPI sesuai UU Penyiaran 32/2002 memang sangat luas,termasuk menjatuhkan sanksi.Namun wewenang ini belum dipakai secara maksimal.Alasannya karena selama ini kekurangan tenaga.Anggaran Rp.22,-M setahun habis untuk menggaji staf.
Pengamat Komunikasi Idi Subandy Ibrahim menilai,respon KPI terhadap tayangan2 bermasalah sudah cukup baik.Namun dia mengatakan bahwa KPI memiliki tanggung jawab untuk mendidik tenaga penyiaran dan memberikan pansuan etika kepada mereka.Ini kewajiban yang sangat penting untuk dijalankan.
Yusirwan Uyun, Koordinator Bidang Isi Siaran KPI Pusat mengakui bahwa KPI blum menjalankan smua kewajiban yang diamanatkan UU.”Kalau menurut UU,KPI seharusnya juga memantau siaran radio.Tapi kami tidak sanggup”

(Disarikan dari Kompas 23/11/2008 oleh M.Hadi Utomo)

Minggu, 16 November 2008

Ki Enthus Mendemo Lembaga Penyiaran

Berita lokal yang sangat menghentak awal bulan ini (8/11) adalah ditahannya seorang dalang kondang Ki Enthus Susmono oleh Polres Tegal. Ki Enthus diduga terlibat aksi peusakan kantor/studio Radio Citra Pertiwi FM di Slawi Kab.Tegal pada Senin (3/11).Ki Dalang ditahan karena diduga menghasut massa melakukan perusakan karena menilai radio tersebut tidak mencerminkan suara masyarakat Kabupaten Tegal,dimana dalam siarannya ikut mengkapanyekan pasangan pemenang Pilkada (26/10),yaitu Agus Riyanto dan Moch.Hery Sulistiawan.. Sebelumnya massa mendatangi kantor Panwas Pilbup Tegal dan KPUD Kabupaten Tegal, untuk menuntut penundaan penetapan Bupati Tegal. Ki Enthus dijerat pasal2 KUHP yakni ps.160 tentang Penghasutan, ps.170 tentang perbuatan merusak dan ps.35 jo 55 tentang pencemaran nama baik (Radar Tegal dan Nirmala Pos 4/11, Sindo 9/11 dan Kompas 10/11).
Dari sisi dunia penyiaran (radio), aksi yang dilakukan Ki Enthus dkk. merupakan sebuah keberatan,protes,gugatan yang ditujukan kepada sebuah lembaga penyiaran, yang (dinilai) tidak melakukan fungsinya dengan benar,yaitu bertindak memihak suatu kelompok partisan dan tidak independen. Aksi perusakan atas aset pemerintah daerah (dalam hal ini RSPD atau Radio Citra Pertiwi) sudah ditangani dengan tepat oleh aparat kepolisian setempat sesuai dengan domein kewenangannya. Sedangkan protes,gugatan dan keberatan atas pelanggaran isi siaran yang dilakukan suatu lembaga penyiaran seharusnya ditujukan kepada KPID Jateng (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jateng). Pelanggaran isi siaran sesuai dengan UU No.32/2002 tentang Penyiaran adalah domein KPUD selaku regulator lembaga penyiaran di daerah. Ada pasal-pasal yang dapat dikenakan kepada lembaga penyiaran (radio) yang melakukan pelanggaran, berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana. Dari sanksi teguran,peringatan,penghentian siaran sampai pencabutan ijin.Juga sanksi pidana paling lama 5 tahun penjara dan/atau denda sampai maksimum Rp.1,-milyar.
Sayangnya protes Ki Dalang sudah terlanjur emosional dan terjebak dalam tindak kekerasan.Padahal,andaikata (dengan bukti2 yang cukup/kuat) masalah pelanggaran ini ditangani KPID maka akan membuka wacana dan pembelajaran demokrasi yang baik bagi masyarakat. Protes dan keberatan kepada lembaga penyiaran adalah hak masyarakat yang dilindungi undang-undang (ps.52 UU Penyiaran No.32/2002)
Sebagai penutup opini , ada 3 pertanyaan yang muncul tentang kasus ini :
1.Apakah Radio Citra Pertiwi sudah melaksanakan prinsip2 penyiaran yakni memberikan informasi yang benar,seimbang dan bertanggung jawab ?
2.Apakah keberadaan Radio Citra Pertiwi sudah sesuai dengan UU Penyiaran No.32/2002 dan PP 11/2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal ?
3.Dapatkan Radio Citra Pertiwi menjadi Lembaga Penyiaran Publik Lokal yang bersifat independen,netral,tidak komersil dan hanya melayani kepentingan masyarakat dan tidak menjadi corong pemerintah ? ***

(Baca juga : LPP Lokal Masih Ditunggu)

Minggu, 02 November 2008

Kongres IX Bahasa Indonesia

hamba feodalis – saya demokratis – aku anarkhis.

Kebanggaan pada bahasa Indonesia menurun.Padahal bahasa Indonesia adalah lambang jatidiri.Masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa asing dan bahasa daerah yang tidak pada tempatnya.Demikian sambutan Mendiknas Bambang Sudibyo pada pembukaan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta 28 Okt.-11 Nop ( Kompas, 29/10.).
Benarkah ? Ya terang aja, sebab menurut munsyi Remy Sylado(2003) 9 dari 10 kosakata Bahasa Indonesia adalah serapan dari bahasa asing.
Yang jelas,bahasa Indonesia terus berkembang. Ketika pertama terbit th.1953 Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) memuat 23.000 lema (entry).Tahun 1976 memuat 24.000 lema, tahun 1988 bertambah lagi menjadi 62.000 lema.KUBI terbaru memuat 250.000 lema dan jika ditambah 340.000 istilah pelbagai macam ilmu pengetahuan, maka jumlah lema menjadi 590.000.
Secara politis,bahasa Indonesia juga berkembang dari bahasa yang feodalistik menjadi bahasa yang demokratis,bahkan sekarang cenderung anarkis. Kita masih ingat Bung Karno dalam pidato pembelaan didepan pengadilan kolonial membahasakan dirinya dengan hamba. Bahkan sampai tahun 50-an para advokat didepan Pengadilan Negeri juga masih menggunakan kata hamba dan yang mulia. Kita juga masih menyebut paduka yang mulia kepada kepala negara. Dalam perkembangan selanjutnya kataganti orang pertama hamba resmi menjadi saya. Dan kataganti orang kedua menjadi saudara atau anda.Tapi anehnya, dewasa ini generasi muda lebih senang menggunakan kata aku daripada saya. Lihat saja ditayangan TV,semua artis dan selebritis , bahkan artis2 cilik pun senang sekali ber- aku ria..Mereka bilang mama aku, rumah aku,guru aku,temen aku…Barangkali mereka terinspirasi sajak Chairil Anwar, penyair Angkatan 45 yang vitalistis dan “anarkhis” : Aku ini binatang jalang…dari kumpulannya terbuang…***

Sabtu, 01 November 2008

Menunggu LPP Lokal....Sampai Kapan ?

Pembentukan LPP Lokal dibeberapa daerah masih macet, kenapa ya ?
Padahal sesuai UU 32/2002 dan PP 11-12-13 /2005 , kehadiran LPP Lokal yang berada didaerah kabupaten/kota sudah sangat ditunggu oleh Masyarakat. RSPD (Radio Siaran Pemerintah Daerah) yang seharusnya di konversi (emangnya minyak tanah??) menjadi LPP Lokal masih seperti yang dulu. Masih digunakan untuk kepentingan Pemda dan menjadi corong Pemda. Ini kan melanggar UU ? RRI dan TVRI saja sudah mengikuti UU + PP hasil Reformasi. Artinya sudah menjadi milik Publik dan bukan corong pemerintah. Lha kok RSPD (dibeberapa daerah disebut RKPD,maksudnya Radio Khusus Pemda) masih dipertahankan keberadaannya.Malahan setiap tahun masih diberi anggaran dari APBD. Bagaimana ini bapak-bapak anggauta DPRD ? Disamping melanggar UU, RSPD juga membuat kecemburuan Radio Swasta, karena menjual iklan dengan harga murah (ya iya dong…kan dibiayai APBD).
KPID Jateng sebagai regulator lembaga penyiaran di daerah sudah mendorong agar secepatnya RSPD dikonversi menjadi LPP Lokal. Katanya sih banyak yang terganjal oleh Perda. Memangnya bikin Perda tentang LPP Lokal sulit ya ? Apa tunggu DPRD hasil Pemilu 2009 ? Wah…kelamaan. Masyarakat di daerah sudah sangat merindukan punya Radio Publik Lokal…